#Cerpen: Perbincangan Dua Cangkir Kopi
“Secangkir Flat White. Selamat menikmati.” Zara menyajikan cangkir putih di
depan seorang pria. Pria yang saat ini tengah sibuk mengotak-atik laptopnya.
Pria itu memang rutin mengunjungi coffee
shop yang telah didirikannya dua tahun lalu. Pria itu pula yang
merekomendasikannya membuka sebuah coffee
shop beberapa bulan sebelum ia resign
dari pekerjaannya.
“Terima kasih, Nyonya,” sahut Zidan memasang tampang imut yang siap untuk dilempar dengan benda apapun.
“Ampun, Madam! Ampun!” pinta Zidan sambil menggosokkan kedua tangannya, tanda memohon.
“Dasar wong Idan!” Zara terkekeh. “Lu lagi sibuk apaan sih? Meja ini nggak pernah ada yang mau nempatin. Angker katanya.” Meja ini memang tempat favorit Zidan sejak pertama kali café dibuka.
“Ih, lu dari mana aja?! Gemes deh gue kalo ngomong sama lu,” Zara tidak sabar menantikan cerita yang telah dijanjikan Zidan. Zidan hanya memberinya kabar, ia sedang ada di luar kota dan tidak pernah menjawab pesan apapun lagi dari Zara. Itu sebabnya Zara penasaran.
Zara mulai membersihkan meja-meja di café-nya. Zara menikmati semua kegiatan yang ia lakukan di tempat ini, walaupun ia pemiliknya, ia tidak pernah sungkan untuk membersihkan meja, menyajikan kopi bahkan sampai mengantarkan kopi langsung kepada pelanggannya. Café yang telah dikelolanya selama dua tahun ini menyimpan banyak kenangan, terutama bersama orang bernama Zidan.
“Oh, iya.” Zara mengembalikan dirinya ke masa kini.
“Yes!” Zidan mengangguk setuju.
“Ini dari Gayo-Aceh, salah satu kopi terbaik produksi Indonesia yang diakui secara internasional. Keren kan?” Zara mengamati reaksi Zidan. Tana Toraja memang surga kopi bagi penikmatnya.
“Syukurlah, kopi Indonesia masih diakui walaupun manusia-manusia di dalamnnya udah nggak bener ya. Hahaha.” Zidan mulai skeptis. “Lama-lama gue stres juga ada di Indonesia.”
“Eh, lu kok nggak cerita sama gue?!” Zara kaget dengan kabar yang didengarnya.
“Iya, Ra.. Gue nggak cerita karena gue udah menolak beasiswa ini. Lagipula kompensasinya kalau gue terima beasiswa itu, gue harus mengabdi di kampus gue selama lima tahun. Hitungannya, satu tahun kuliah di UK dibalas dengan lima tahun jadi dosen di Indonesia. Gue merasa itu merugikan gue dan ya.. gue nggak mau terikat seperti itu,” Zidan mengaduk Flat White-nya.
Ia jatuh cinta. Jatuh cinta pada hal yang membuatnya harus memilih. Antara kopi dan seorang manusia. Sebagai seorang barista, Zara jatuh cinta dengan setiap kopi yang tumbuh di Indonesia. Baginya tidak ada kopi dari negeri mana pun yang seenak kopi produksi negeri sendiri. Coffee shop-nya hanya menjual racikan kopi dengan bahan dasar kopi Indonesia. Zara ingin melestarikan budaya Indonesia melalui racikan kopi.
“Eh, sorry… Hehe,” Zidan menggaruk kepalanya. Salah tingkah.
“Ada apa sih?” Zara merapikan rambutnya yang berantakan gara-gara pelukan Zidan.
“Kita ke Australia?” Zara mengulangi perkataan Zidan.
“Oke, Zara…” Zidan menyerah, perlahan ia melepaskan kedua tangan Zara. Bukan hanya Zara, hatinya pun terluka. Orang yang selama ini menjadi saksi liku kehidupannya yang tidak pernah stabil harus menolak ajakannya. Sejak dulu, selalu Zara yang ia pilih.
“Terima kasih, Nyonya,” sahut Zidan memasang tampang imut yang siap untuk dilempar dengan benda apapun.
“Emangnya
gue udah ibu-ibu apa. Panggil-panggil Nyonya aja. Kalau rusuh, gue seret ke
tengah jalan lu,” ancam Zara. Sebisa mungkin wajahnya ia buat galak.
“Ampun, Madam! Ampun!” pinta Zidan sambil menggosokkan kedua tangannya, tanda memohon.
“Dasar wong Idan!” Zara terkekeh. “Lu lagi sibuk apaan sih? Meja ini nggak pernah ada yang mau nempatin. Angker katanya.” Meja ini memang tempat favorit Zidan sejak pertama kali café dibuka.
“Wah,
guna-guna gue berhasil berarti ya. Baguslah, lagian meja di pojok ini kan
singgasana gue,” sahut Zidan. Genap dua minggu ia tidak mengunjungi café milik
Zara.
“Ih, lu dari mana aja?! Gemes deh gue kalo ngomong sama lu,” Zara tidak sabar menantikan cerita yang telah dijanjikan Zidan. Zidan hanya memberinya kabar, ia sedang ada di luar kota dan tidak pernah menjawab pesan apapun lagi dari Zara. Itu sebabnya Zara penasaran.
“Gue
abis ngerjain penelitian bareng Prof. Ryan. Lu inget kan tesis gue tentang pembangkit listrik dari energi ombak? Nah,
penelitian ini mau dibikin pilot project-nya
sekaligus dibikin jurnal ilmiahnya. Yaa, itung-itung buat portofolio gue
ngelamar beasiswa,” jelas Zidan. Dosennya bilang, bahwa skripsi yang Zidan buat
setara dengan tesis untuk jenjang S2.
“Jadi
si tesis ini akan segera di kenal dunia ya. Luar biasa sekali, sahabat gue
ini!” puji Zara. “Idan, sekalipun lu nyebelin, please ya… jangan ngambil studi jauh-jauh. Di Malaysia atau
Singapura gitu, biar bisa gue tengokin kalau ada tiket promo.”
“Makanya
gue selalu ngajakin lu, Ra. Ayo, kita sama-sama lanjutin S2 di Australia.” ajak
Zidan. “Gue udah menentukan pilihan, Ra.”
***
Zara mulai membersihkan meja-meja di café-nya. Zara menikmati semua kegiatan yang ia lakukan di tempat ini, walaupun ia pemiliknya, ia tidak pernah sungkan untuk membersihkan meja, menyajikan kopi bahkan sampai mengantarkan kopi langsung kepada pelanggannya. Café yang telah dikelolanya selama dua tahun ini menyimpan banyak kenangan, terutama bersama orang bernama Zidan.
Zara kembali terngiang ajakan Zidan. Rasanya tidak
rela jika harus melepaskan Zidan menuju Australia, apalagi jalan baginya menuju
Australia semakin terbuka. Ia takut kehilangan Zidan selamanya. Zidan tidak
pernah main-main tentang rencana hidupnya, termasuk rencana untuk pindah dan
melepas kewarganegaraannya.
“Woi! Ngelamun aja! Bukannya buka toko,” Zidan menepuk bahunya. Membuat Zara kembali tersadar.
“Woi! Ngelamun aja! Bukannya buka toko,” Zidan menepuk bahunya. Membuat Zara kembali tersadar.
“Oh, iya.” Zara mengembalikan dirinya ke masa kini.
“Ra,
gue booking tempat seharian sampai
mau tutup ya. Rasanya sumpek kalau di kosan terus, laporan nggak jadi-jadi,”
pinta Zidan. Ia segera mengambil tempat di sudut ruangan dengan jendela besar
yang membuat pencahayaan di tempat itu lebih terang.
“Tumben
minta izin dulu, bukannya udah biasa nongkrong di sini seharian ya? Flat White kan?” mata Zara terus
mengamati Zidan sampai ia duduk di tempat favoritnya.
“Yes!” Zidan mengangguk setuju.
Zara
sibuk meracik kopi pesanan Zidan. Seni meracik kopi ini ia dapatkan secara
otodidak dengan mempelajari beberapa handbook
yang Zidan berikan. Sejauh ini
segala pencapaiannya selalu disertai peranan Zidan yang begitu banyak. Tidak
terbayangkan jika Zidan benar-benar menghilang dalam kehidupannya. Zara bergidik,
ia bahkan tidak berani membayangkannya.
“Flat White khas Australia,” Zara tahu
racikan kopi yang dipilih Zidan adalah kopi khas Australia dan New Zealand. Zidan
bilang, ia ingin membiasakan dirinya seolah-olah sudah di Australia.
“Ra,
lu pake Arabica ya? Ada rasa asemnya
dikit,” sahut Zidan usai mencicipi kopinya. Rasa Flat White-nya tidak seperti biasa.
“Iya,
biasanya gue pake Robusta dari Tana
Toraja tapi lagi kehabisan stok. Gimana rasanya?” tanya Zara. Zara pun meneguk
Caffé Mocha buatannya. Di antara beragam resep kopi, Zara paling suka cita rasa
dari Caffé Mocha, terlebih karena ia pecinta cokelat dan bahan-bahan Caffé
Mocha salah satunya adalah cokelat.
“So far sih enak. Tapi gue lebih suka
racikan yang biasa. Ini pake kopi darimana?” Zidan kembali meneguk Flat White-nya.
“Ini dari Gayo-Aceh, salah satu kopi terbaik produksi Indonesia yang diakui secara internasional. Keren kan?” Zara mengamati reaksi Zidan. Tana Toraja memang surga kopi bagi penikmatnya.
“Syukurlah, kopi Indonesia masih diakui walaupun manusia-manusia di dalamnnya udah nggak bener ya. Hahaha.” Zidan mulai skeptis. “Lama-lama gue stres juga ada di Indonesia.”
“Indonesia
salah apa sih sama kamu, Dan? Sampai kamu jelek-jelekin.” Zara duduk di depang
Zidan. Ia tahu, sahabatnya ini membutuhkan seseorang untuk jadi pendengar.
Pendengar yang bukan hanya sekadar mendengarkan namun menyimak.
“Tadi
pagi gue bantuin Prof. Ryan. Gue ngajar
anak-anak semester 6 mata kuliahnya Prof. Ryan. Lu tahu apa yang terjadi, Ra?
Buset deh, hal-hal yang sederhana aja mereka masih nggak paham. Apalagi waktu
gue kasih materi tentang Instrumentasi Industri. Ada sih yang paham, tapi
kebanyakan malahan nggak. Kayaknya orang-orang Indonesia udah kelewat bodoh
ya,” Zidan meneguk kopinya.
“Padahal
sih, menurut gue, lu cocok banget kalau jadi dosen. Pengalaman gue belajar dari
lu, gue langsung paham karena lu
menyampaikan dengan jelas,” Zara ingat bagaimana Zidan membimbingnya dalam
mempelajari bahasa Inggris dan beberapa handbook tentang racikan kopi.
“Gue
pikir sih, gue cocok jadi apapun sepertinya. Hahaha.” Zidan terbahak. “Tentunya
dengan seizin Yang Maha Kuasa. Tapi ya, gue menolak sih kalau jadi dosennya di
Indonesia apalagi gajinya juga dikit ya. Itu sebabnya gue pun menolak beasiswa
dari Kingston University London, UK.”
“Eh, lu kok nggak cerita sama gue?!” Zara kaget dengan kabar yang didengarnya.
“Iya, Ra.. Gue nggak cerita karena gue udah menolak beasiswa ini. Lagipula kompensasinya kalau gue terima beasiswa itu, gue harus mengabdi di kampus gue selama lima tahun. Hitungannya, satu tahun kuliah di UK dibalas dengan lima tahun jadi dosen di Indonesia. Gue merasa itu merugikan gue dan ya.. gue nggak mau terikat seperti itu,” Zidan mengaduk Flat White-nya.
“Wah,
sayang sekali ya… Tapi lu udah menentukan pilihan kan…” Zara tertunduk lemas. Zara
tahu, bagaimana teguhnya sikap Zidan saat ia telah menentukan pilihannya.
“Ra,
lu mau kan nemenin gue ke Australia? Kita pindah ke tempat yang lebih baik.
Bumi ini luas, Ra.. Ada banyak tempat yang menanti kita,” Zidan tiba-tiba
menggenggam tangannya.
Zara
menarik tangannya perlahan. “Gue.. nggak tahu, Dan…” Zara meninggalkan meja itu
dan kembali menuju tempat kasir. Zara mulai menyapa dan berbaur dengan beberapa
pelanggannya. Ia berusaha menetralisir rasa
bimbangnya. Itu saja.
***
Ia jatuh cinta. Jatuh cinta pada hal yang membuatnya harus memilih. Antara kopi dan seorang manusia. Sebagai seorang barista, Zara jatuh cinta dengan setiap kopi yang tumbuh di Indonesia. Baginya tidak ada kopi dari negeri mana pun yang seenak kopi produksi negeri sendiri. Coffee shop-nya hanya menjual racikan kopi dengan bahan dasar kopi Indonesia. Zara ingin melestarikan budaya Indonesia melalui racikan kopi.
Lalu
manusia itu, seorang sahabat yang selalu ada di dekatnya justru mengajaknya
untuk meninggalkan negeri ini. Zara tahu, ia telah jatuh cinta pada Zidan
bahkan saat Zidan belum memutuskan untuk pindah kewarganegaraan. Zara tidak
ingin berpisah dengan Zidan dan di saat yang bersamaan ia pun enggan beranjak
dari Indonesia. Zara mencitai keduanya dan ingin memilih keduanya.
“Zaaaraaaaa!!!!”
Zidan langsung merangkul tubuh mungil Zara. Tubuhnya yang pendek dan langsing
membuat Zara tenggelam dalam pelukan Zidan.
“Uhuuk… Uhuuk!” Zara terbatuk napasnya terasa sesak. “Ud…aah… Am..puun..”
“Uhuuk… Uhuuk!” Zara terbatuk napasnya terasa sesak. “Ud…aah… Am..puun..”
“Eh, sorry… Hehe,” Zidan menggaruk kepalanya. Salah tingkah.
“Ada apa sih?” Zara merapikan rambutnya yang berantakan gara-gara pelukan Zidan.
“Gue
dapet beasiswa ke Australia! Awal tahun depan kita berangkat! Akhirnya kita
bisa hijrah, Ra!” Mata Zidan berbinar. Kebahagian terpancar dari wajahnya.
“Kita ke Australia?” Zara mengulangi perkataan Zidan.
“Iya,
lu mau kan ke Australia sama gue, Ra? Jumlah beasiswa gue cukup untuk kita
berdua, Ra.” Zidan kembali bertanya. Ia mencari jawaban melalui mata Zara.
“Kita
belum sepakat kan? Lu nggak mikirin gue, Dan? Gue juga punya mimpi yang ingin
gue wujudkan,” Bagaimanapun Zara tidak dapat menghindari topik ini. Hari ini
benar-benar tiba.
“Lu
bisa mengembangkan kemampuan lu dalam meracik kopi di sana. Lu bisa mewujudkan
mimpi itu bareng-bareng gue,” pinta Zidan.
“Zidan,
gue nggak cukup gila untuk tinggal di Australia dan mengganti kewarganegaraan
gue. Gue suka ada di Indonesia. Gue punya keluarga di Indonesia dan gue
dilahirkan di Indonesia. Kalau gue ikut sama lu, bisakah lu menjamin kalau kita
akan kembali lagi ke Indonesia?” Zara mencari keyakinan dalam diri Zidan.
“Ra,
gue udah bilang berapa kali sih? Kita nggak bisa terus ada di negara yang
bobrok kayak gini. Kita harus hijrah,” Zidan meraih tangan Zara dan
menggenggamnya erat.
“Sorry, Dan… Untuk kali ini kita memang
berbeda. Gue nggak bisa meninggalkan negara ini..” Zara berusaha menahan
tangisnya. Ia tak sanggup untuk berkata lagi. “Maaf, gue nggak bisa menemani
lu, Zidan…”
“Oke, Zara…” Zidan menyerah, perlahan ia melepaskan kedua tangan Zara. Bukan hanya Zara, hatinya pun terluka. Orang yang selama ini menjadi saksi liku kehidupannya yang tidak pernah stabil harus menolak ajakannya. Sejak dulu, selalu Zara yang ia pilih.
Zara
mengamati langkah Zidan yang semakin menjauh. Langkahnya terasa semakin samar
kemudian hilang seiring dengan tertutupnya pintu café. Ia telah melepaskan
cintanya. Ia akhirnya melepaskan seorang manusia yang telah mengiringi
hidupnya. Zara masih berharap sahabatnya itu kembali duduk di sudut ruangan
ini, tepat di samping jendela besar itu.
***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory. Diselenggarakan oleh GIORDANO dan nulisbuku.com.
0 komentar