#Cerpen : Skenario-Mu di ‘Surga’ Kecilku

by - 3:26 PM





[Hari Senin] Aku mencoba menenangkan syaraf otakku yang terlanjur bergejolak seperti ingin pecah. Aku memilih tempat ini. Tempat yang ramai namun tenang. Damai dan sejuk. Ya, pelarian dari berbagai macam kesusahan dan kegersangan hidup. Masjid. Aku mengedarkan pandanganku. Lantunan ayat suci menggema di sini. Aku merasa nyaman. Entah untuk keberapa kalinya, aku ingin tetap tinggal di tempat ini.

Di teras sana, ada yang menarik perhatianku. Seseorang yang sedang berlenggak lenggok dengan ceria dihadapan anak-anak usia 6-7 tahun, sambil membawa kentongan. Sesekali dia terbahak menirukan suara raksasa dan tidak lama kemudian dia merintih seperti kucing  kesakitan. Suaranya amat lantang ketika memulai teater tunggal yang dia mainkan dihadapan anak-anak itu. Anak-anak yang tidak asing lagi dimata juga orang-orang sekitar kampus. Aku semakin tertarik untuk mengamatinya.

***

[Hari Selasa] Kuliah usai tepat jam 15.00 seiiring dengan lantunan adzan yang memanggil untuk segera menghadap Sang Kuasa. Aku memilih untuk segera mengunjungi masjid kampus. Tempat penuh kedamaian dan kebahagiaan. Sekedar untuk berbagi kesusahan dan kegembiraan dengan Sang Pencinta walaupun tanpa ku ungkapkan, DIA akan senantiasa mengetahui apa yang dirasakan hamba-Nya.

Setelah bercinta dengan-Nya di waktu ashar, aku seperti biasa membuka mushaf kecil penuh hikmah yang diberikan Ummi sebelum berangkat ke tempat rantauan ini. Aah, kenapa jadi melankolis seperti ini? Tiba-tiba teringat Ummi yang ada disebrang sana. Sambil menyeka mutiara kecil di pelupuk mataku, aku mulai melafalkan huruf-huruf yang tersusun indah di mushaf itu. Aku melafalkan sambil mengingat wajah Ummi yang teduh penuh cinta. Rabb, jaga Ummiku dengan cinta-Mu ... bisikku dalam hati.

“Bismillah .. hirrahmaaan... nirrahiim ... Qul huwallahu ahad .... Allahush-shomad ... Lam yalid wa lam yuulad .. Wa-lam yaqullahuu ... kufuwan ahad .... Bismillah ...” suara-suara riang penuh semangat itu mengusik kekhusyuanku. Aku menoleh ke sumber suara. Aah, anak-anak itu bersama orang yang kemarin memainkan teater tunggalnya. 

Aku masih membuka mushaf kecil itu, namun perhatianku tertuju pada anak-anak yang hanya berjumlah 10-15 orang itu. Suara riang mereka menyejukkan jiwa. Aku makin seksama memperhatikan mereka yang masih belum lancar dengan makhraj-nya. Aku tersenyum sendiri mendengarnya. Alhamdulillah, senja hari ini bisa tersenyum gembira.

***

[Hari Rabu] Aah, hari ini ada kuliah sampai maghrib. Hmm, aku tidak dapat melihat peri-peri mungil yang sedang belajar mengaji hari ini. Aku menyempatkan untuk mampir ke ‘surga’-ku itu di waktu dhuha. Waktu dhuha lebih ramai dari waktu ashar. Banyak kumpulan-kumpulan mahasiswa dari mulai teras mesjid sampai dalam mesjid. Aku selalu senang melihat mereka yang berdiskusi atau sekedar mengerjakan tugas kelompok. 

Di tempat ini, ada kehidupan yang senantiasa bernafas. Setiap detiknya tidak pernah terlelap sekedar untuk melepas lelah. Sungguh, merekalah yang membangun kehidupan di tempat ini. Para pengurus mesjid, para mahasiswa, sampai anak-anak kecil yang sedang mengaji iqra turut ambil peranan dalam kehidupan di tempat ini.

“Ukhti, mau ikutan kajian keislaman?” tanya seorang jilbaber yang ku temui diteras mesjid sebelum masuk. Aku tertegun melihat mereka yang terbalut dengan jilbab panjang nan lebar. Kapan aku seperti mereka?.

“Oh, setelah ini saya ada kuliah sepertinya lain kali saja. Tidak apa-apa kan..?” jawabku sambil membalas senyum cantiknya.

“Begitu ya, syukran Ukhti ... Jika berkenan nanti hari minggu datang ya, kajiannya tentang filsafat islam ...” ucapnya sambil memberikan selembaran berwarna biru kepadaku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Kemudian aku pamit berjalan menuju sudut tempat aku biasa menemui-Nya lewat shalat.

Ingin sekali seperti mereka. Para jilbaber. Terlihat anggun dan teduh. Aah, tapi malu. Bahkan keislamanku pun masih amat rancu. Masih melupakan hal-hal kecil yang menimbulkan petaka di akhirat. Rabb, adakah tempat untukku di Surga-Mu? . Aku meminta melalui dhuha-ku.

***

[Hari Kamis] Aku sengaja, datang lebih awal ke tempat ini. Sekedar untuk beristirahat sejenak atau sesekali membaca mushaf kecil pemberian Ummi.  Beberapa anak telah berkumpul disana. Anak-anak itu yang biasa aku temui di sekitar kampus dan jalan raya. Ya, mereka anak-anak yang biasa mengemis. Meminta-minta recehan dengan cara bernyanyi ataupun mengaduh.

“Tadi aku ngambil makanan dari warung ... Mau?” tanya seorang anak yang memakai kerudung putih kusam sambil menyodorkan sebungkus snack kecil ke temannya.

“Mau .... Makasih ya,” jawab temannya yang berkerudung pink pucat.

“Tadi aku dapetnya gratis looh ....” katanya sambil terus melahap snack itu.

“Oh, dikasih sama Ibu warungnya ya?” tanya yang satunya, tanpa menoleh ke lawan bicaranya.

“Engga ...” anak berkerudung putih pucat itu menjawab dengan datar.

“Terus?”

“Aku ngambil dari warungnya terus langsung lari deh ke sini ...” jawabnya acuh.

“Eh, kamu nyuri ya?!” si kerudung pink mulai sadar apa yang diucapkan temannya. “Kata kak ustadz kan ga boleh kalau ngambil yang bukan milik kita ...”

“Tapi kan, kata kak ustadz juga dalam hartanya orang kaya itu ada hak buat orang miskin ...” keduanya terlibat dalam sebuah ‘diskusi’ kecil. Aku makin tertarik mengamatinya.

“Iya, ya ... Tapi kalau caranya mencuri kan haram ...”

“Benar kata, Nabil ....” tiba-tiba suara teduh itu menghampiri dua anak tadi. Rupanya dia telah berada ditempat itu ketika mereka memulai ‘diskusi’ kecilnya. Aku pun tidak menyadari kehadiran pria berkacamata dengan jas hitam dan celana abu itu.

“Mengambil benda, makanan, harta atau barang apapun dari orang lain tanpa sepengetahuan mereka itu namanya mencuri. Meskipun orang itu orang kaya ...” ujar guru mereka yang sekarang duduk diantara keduanya.

“Ohh .. begitu yaa ... terus gimana dong ini kak ustadz ... kita udah abisin makanannya ...” kata si anak berkerudung putih pucat itu.

“Nanti kalian bilang ke Ibu warungnya, terus bayar ya ... Nih, Kak Ustadz kasih uangnya ..” ucapnya sambil menyerahkan uang kertas pecahan lima ribu rupiah.

“Waah ... Ka Ustadz... Ini kebanyakan ...” kata si kerudung pink. Gembira.

“Sisanya harus ditabung ya, jangan dipakai jajan lagi. Janji?” tanyanya sambil mengangkat kelingling miliknya.

“Janji...!” mereka berdua tersenyum sambil mengangkat kelingkingnya. Aku hanya tersenyum mengamati tingkah mereka yang lucu.

Selanjutnya Kakak Ustadz itu mulai mengajar mereka. Diawali dengan ta’udz selanjutnya bacaan juz amma sambil diikuti oleh suara-suara penuh semangat milik peri-peri kecil itu. Selalu saja, ada setetes tawa di tempat ini. Sungguh, semua yang terjadi ditempat ini membuatku dapat bernafas lebih lega.

***

[Hari Jumat] Lagi, gara-gara mengikuti rapat Himpunan Jurusan aku melewatkan acara ‘ngaji’ bersama anak-anak itu. Aku segera masuk ke masjid itu. Ke tempat yang sama. Aah, mereka masih disana sedang membereskan alat tulisnya, sepertinya akan segera pulang. Aku terlambat.

Aku selalu mengamati mereka dari sudut ini. Dibalik jendela dengan ornamen warna-warni transparan di kacanya. Sementara itu, anak-anak yang sedang mengaji berada diluar jendela tempat ku berada. Entah kenapa aku menyukai belajar bersama mereka. Ku pikir, kepolosan mereka justru potensi kecerdasan yang mereka miliki. Aku rindu menjadi anak kecil seperti mereka.

Hei, ada yang berbeda disana. Kali ini si ‘Kak Ustadz’ itu bersama seorang perempuan jilbaber. Mereka sama-sama mengajar? Setahuku, Ikhwan-Akhwat tidak pernah mau berada di satu tempat yang sama. Biasanya selalu ada hijab diantara mereka. Kenapa ini tidak? Apa mereka sedang pacaran?. Hei, lalu apa urusannya denganku? Tiba-tiba aku tersentak dengan pertanyaanku sendiri. Ada rasa yang tak biasa menyusup nurani.

“Kakak Ustadzah, besok dateng lagi yaa ...” ucap salah seorang anak lelaki tambun berkulit hitam sambil mencium tangan sang akhwat.

“Insya Allah ya...” jawabnya lembut sembari mengelus kepala anak itu.

“Ustadzah cantik, harus dateng pokonya ...” kali ini si kerudung hijau yang berbicara sambil pamit pulang. Sang ustadzah hanya tersenyum manis.

Astaghfirullah .. kenapa ini? Kenapa ada getar yang terus bergejolak. Haruskah aku cemburu pada sosok asing itu? Sosok yang hanya ku kenal lewat jendela ini?. Rabb, ini sungguh konyol. Aku kesini untuk menemui-Mu kan? Mengapa aku terpaut pada ciptaan-Mu?. Rabb, tolong bimbing hamba-Mu yang bodoh ini ... Aku merasa malu menghadap-Nya di maghrib kali ini.

***

[Hari Sabtu] “Yaa ... muqallibal quluub tsabit qalbi ‘ala diinika ..”[1]. Hati ini milik-Mu, rasa yang bergejolak pun milik-Mu juga. Aku menemukan kehidupan ditempat ini atas petunjuk-Mu. Jangan biarkan orang asing itu merenggut perhatianku, mengikis rasa cintaku pada-Mu.

Aah, Rabb .. aku memang manusia biasa. Demikian lemah bila menghadapi rasa seperti ini. Demikian sulitkah bagiku untuk melepaskan semua rasa yang membelenggu erat dalam nurani?. Bimbinglah aku untuk dapatkan cinta-Mu. Hanya cinta-Mu. Bukan makhluk-Mu.

Genap enam hari aku ada ditempat yang sama, dan sudut yang sama. Namun dengan suasana yang berbeda kali ini. Sabtu pagi aku telah sampai ditempat ini. Untuk mengerjakan makalah Aljabar Linier bersama beberapa orang dari kelasku.

“Apa pendapat kalian tentang nikah dini?” tanya Mira ketika kami semua larut dalam angka-angka dan rumus dari buku Pengantar Aljabar Linier.

“Eh, mau nikah Mir? Ntar undang ya ..” jawab Raka yang kemudian fokus lagi pada hitungannya. Mira hanya mencibir. Sementara aku dan Mei tersenyum melihat tingkahnya.

“Kalau menurut Nia?” Mira melempar pertanyaan ke arahku.

“Nikah? Hehee” Aku menggeleng sambil mengangkat bahu. Dan kembali dengan vektor-vektor yang berderet memanggil untuk segera ditemukan jawabannya.

“Ih, kalian ga seru ah ... Diajak diskusi koq gitu ..” Mira cemberut dan kembali memandang laptopnya yang masih menyala.

“Kayanya pengalaman seru tuh ..” celetuk Isha yang telah menyelesaikan BAB I di layar notebooknya.

“Seru?!” tanya Raka sambil meninggalkan kertas-kertas yang penuh hitungan. “Seru gimana, Mei?”

“Yaa, serulah .. makanya di kampus kita trend nikah dini .. dari pada zina? pacaran?” Mei membuka diskusi yang diinginkan Mira.

“Nah, bener tuh Mei ! Mir juga setuju sama kamu ... ! Menurut Mir ya, kalau punya suami kan bisa diandelin .. ehehe. Ada tempat berbagi juga ... Aah, so sweet pokoknya ..”

“Tapi, mesti rasional juga kan? Maksudnya, masa sih kita mau maksain nikah tapi finansial kita ga mendukung?” Raka terus mencerca pendapat Mei dan Mira. Aku hanya mengamati mereka sambil berusaha menyelesaikan rangkaian vektor-vektor ini.

“Nah, jangan dijadikan alasan Ka ... Allah tuh selalu mengiringi hambanya selama niat yang dia lakukan untuk ibadah” ucap Mei sambil terus mengetik dari buku-buku yang dibawa olehku, Mira dan Raka.

“Malah ya, kata seniorku di SMA ... Setelah nikah itu rezeki makin mengalir deras. Dan ga ada istilah ga cukup.. Bahkan selalu lebih, malah ..” Mira makin bersemangat dengan argumennya.

“Menurut kamu gimana, Nia? Dari tadi ngurusin vektor mulu nih ...” Raka mengomporiku untuk berargumen.

“Simpel aja jika kamu udah siap dengan segala konsekuensinya. Ya silahkan ... menikahlah. Tapi Rasulullah juga memberikan solusi lain kan ... Jika kamu belum siap maka berpuasalah (Hadist riwayat Bukhari & Muslim) ... Nikah dini memang solusi, tapi jika dirasa belum siap tidak perlu dipaksakan juga kan?”  

Mereka semua mengangguk. Mungkin setuju dengan pendapatku yang mereka bilang bijak. Tapi, idealnya memang begitu kan?. Aku hanya menyampaikan sebagian kecil yang ku tahu. Kemudian kami semua larut kembali dalam makalah Aljabar Linier yang masih belum rampung. Sambil diselingin obrolan-obrolan ringan yang berakhir dengan tawa khas Mira.

Menjelang ashar, aku masih berada di tempat yang sama. Merampungkan sebagian lagi dari tugas makalah ini. Raka, Mira dan Mei pamit terlebih dulu. Mereka punya jadwal masing-masing hari ini. Sambil mengerjakan makalah yang tinggal daftar isi itu, aku menyempatkan diri untuk mendengar peri-peri itu mengaji. Mereka ditemani akhwat jilbaber itu. 

Aku mengikuti acara ngaji bersama anak-anak ini seperti biasanya. Pria berkacamata itu tidak ada di sana. Hanya sang akhwat dan anak-anak itu. Aah, mungkin memang rasa itu harus dilepaskan dengan bebas. Dan aku membiarkan diriku larut dalam suara-suara penuh semangat itu.

***

[Hari Minggu] Langit pagi ini amat cerah. Biru cerah. Tanpa awan-awan bertebaran diatas sana. Terimakasih, Rabb ... rasanya sekarang lebih baik. Semoga tetap bertahan seperti ini. Aku menuju tempat penuh ketenangan itu. Menepati janji pada akhwat yang memberikan selembaran biru, kamis kemarin.

“Silahkan isi dulu daftar hadirnya, Ukhti ...” sapa akhwat dengan jilbab biru muda itu. Apakah dia yang memberikan selembaran kemarin?. Aku tersenyum kemudian masuk ke mesjid menempati tempat dengan hijab diantara peserta ikhwan dan akhwat.

Aku mendengarkan materi yang disampaikan oleh pembicara. Tentang pemikiran Al-Kindy yang luar biasa bahkan melebihi pemikiran Aristoteles dan Plato yang menggema selama berabad-abad lalu tentang pemikirannya. Luar biasa, aku baru tahu. 

Ternyata aku terlalu disibukkan dengan Kalkulus dan Aljabar bahkan lebih mengenal ilmuwan-ilmuwan Barat ahli matematika. Padahal islam begitu kaya dengan para ilmuwannya terutama filosof dengan berbagai hasil pemikirannya yang luar biasa.

Aah, aku memang buta tentang islam. Sedikit sekali rasanya ilmu keislaman yang ku punya. Rasanya waktuku terbuang percuma untuk hal-hal yang tidak penting. Mungkin ini saatnya melakukan perubahan. Menata hati yang beranjak gersang. Aku telah membuka pintu munuju cahaya-Mu. Maka bimbinglah aku untuk tetap melangkah dalam cahaya-Mu.

“Aku kira Ukhti tidak akan datang ...” sambut seseorang ketika kajian hampir selesai, gadis jilbaber yang ku rasa tidak asing itu duduk disamping kananku.

“Ohh, iya ... Terimakasih ya,” ucapku sambil menyambut tanganya dan ber-cipika-cipiki.

Gadis jilbaber itu memang tidak asing. Memori baru terhubung dengan kejadian-kejadian lalu. Dia adalah akhwat yang memberikan selembaran biru, kamis lalu. Dia juga yang bersama pria berkacamata itu dua hari lalu. Aah, aku hanya menghela nafas panjang.

“Ukh, ini ... ada surat untuk Ukhti ..” dia menyerahkan sepucuk surat berwarna putih bersih kepadaku. Aku memandangnya heran kemudian perahan membuka surat tersebut.

Assalamu’alaikum ... Terimakasih telah menemaniku mengaji bersama anak-anak. 
Tetaplah berjalan di cahaya-Nya, Ukh ... Allah senantiasa bersamamu ...--Mikail

“Kakak saya, telah lama ingin mengucapkan terimakasih kepada Ukhti. Tapi karena tidak tahu cara menyampaikannya bagaimana dia meminta saya membantunya. Dan ketika melihat Ukh di balik jendela kemarin, saya semakin yakin kalau Ukh adalah orang yang saya temui kamis lalu di beranda masjid .. Bahkan keyakinan saya semakin bertambah bahwa Ukh akan datang hari ini ... Sungguh luar biasa, ya ..” ujar gadis cantik dengan balutan jilbab cokelat itu.

Aku masih tercengang. Menyadari bahwa skenario-Nya sungguh misteri yang tidak pernah terduga. Sungguh, makhluk-Nya tidak akan pernah tahu tentang peristiwa esok, lusa bahkan setiap detiknya ... Di ‘surga’ kecil ini, aku menemukan-Mu dan skenario-Mu untukku. Tetaplah bimbing hamba-Mu ini, Rabb ..

***

Januari 2012


[1] Artinya : “Wahai yang membulak-balikkan hati tetapkan hatiku pada agama-Mu”. 

You May Also Like

0 komentar

©