#Cerpen : Skenario-Mu di ‘Surga’ Kecilku
[Hari Senin]
Aku mencoba menenangkan syaraf otakku yang terlanjur bergejolak seperti ingin
pecah. Aku memilih tempat ini. Tempat yang ramai namun tenang. Damai dan sejuk.
Ya, pelarian dari berbagai macam kesusahan dan kegersangan hidup. Masjid. Aku
mengedarkan pandanganku. Lantunan ayat suci menggema di sini. Aku merasa nyaman.
Entah untuk keberapa kalinya, aku ingin tetap tinggal di tempat ini.
Di
teras sana, ada yang menarik perhatianku. Seseorang yang sedang berlenggak
lenggok dengan ceria dihadapan anak-anak usia 6-7 tahun, sambil membawa
kentongan. Sesekali dia terbahak menirukan suara raksasa dan tidak lama
kemudian dia merintih seperti kucing kesakitan. Suaranya amat lantang ketika
memulai teater tunggal yang dia mainkan dihadapan anak-anak itu. Anak-anak yang
tidak asing lagi dimata juga orang-orang sekitar kampus. Aku semakin tertarik
untuk mengamatinya.
***
[Hari Selasa] Kuliah
usai tepat jam 15.00 seiiring dengan lantunan adzan yang memanggil untuk segera
menghadap Sang Kuasa. Aku memilih untuk segera mengunjungi masjid kampus.
Tempat penuh kedamaian dan kebahagiaan. Sekedar untuk berbagi kesusahan dan
kegembiraan dengan Sang Pencinta walaupun tanpa ku ungkapkan, DIA akan
senantiasa mengetahui apa yang dirasakan hamba-Nya.
Setelah
bercinta dengan-Nya di waktu ashar, aku seperti biasa membuka mushaf kecil
penuh hikmah yang diberikan Ummi sebelum berangkat ke tempat rantauan ini. Aah,
kenapa jadi melankolis seperti ini? Tiba-tiba teringat Ummi yang ada disebrang
sana. Sambil menyeka mutiara kecil di pelupuk mataku, aku mulai melafalkan
huruf-huruf yang tersusun indah di
mushaf
itu. Aku melafalkan sambil mengingat wajah Ummi yang teduh penuh cinta. Rabb, jaga Ummiku dengan cinta-Mu ...
bisikku dalam hati.
“Bismillah
.. hirrahmaaan... nirrahiim ... Qul huwallahu ahad .... Allahush-shomad ... Lam
yalid wa lam yuulad .. Wa-lam yaqullahuu ... kufuwan ahad .... Bismillah ...”
suara-suara riang penuh semangat itu mengusik kekhusyuanku. Aku menoleh ke
sumber suara. Aah, anak-anak itu bersama orang yang kemarin memainkan teater tunggalnya.
Aku masih membuka mushaf kecil itu, namun perhatianku tertuju pada anak-anak
yang hanya berjumlah 10-15 orang itu. Suara riang mereka menyejukkan jiwa. Aku
makin seksama memperhatikan mereka yang masih belum lancar dengan makhraj-nya. Aku tersenyum sendiri
mendengarnya. Alhamdulillah, senja hari ini bisa tersenyum gembira.
***
[Hari Rabu]
Aah, hari ini ada kuliah sampai maghrib. Hmm, aku tidak dapat melihat peri-peri
mungil yang sedang belajar mengaji hari ini. Aku menyempatkan untuk mampir ke
‘surga’-ku itu di waktu dhuha. Waktu dhuha lebih ramai dari waktu ashar. Banyak
kumpulan-kumpulan mahasiswa dari mulai teras mesjid sampai dalam mesjid. Aku
selalu senang melihat mereka yang berdiskusi atau sekedar mengerjakan tugas
kelompok.
Di tempat ini, ada kehidupan yang senantiasa bernafas. Setiap
detiknya tidak pernah terlelap sekedar untuk melepas lelah. Sungguh, merekalah
yang membangun kehidupan di tempat ini. Para pengurus mesjid, para mahasiswa,
sampai anak-anak kecil yang sedang mengaji iqra
turut ambil peranan dalam kehidupan di tempat ini.
“Ukhti,
mau ikutan kajian keislaman?” tanya seorang jilbaber yang ku temui diteras
mesjid sebelum masuk. Aku tertegun melihat mereka yang terbalut dengan jilbab
panjang nan lebar. Kapan aku seperti mereka?.
“Oh,
setelah ini saya ada kuliah sepertinya lain kali saja. Tidak apa-apa kan..?” jawabku
sambil membalas senyum cantiknya.
“Begitu
ya, syukran Ukhti ... Jika berkenan nanti hari minggu datang ya, kajiannya
tentang filsafat islam ...” ucapnya sambil memberikan selembaran berwarna biru
kepadaku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Kemudian aku pamit berjalan
menuju sudut tempat aku biasa menemui-Nya lewat shalat.
Ingin
sekali seperti mereka. Para jilbaber. Terlihat anggun dan teduh. Aah, tapi
malu. Bahkan keislamanku pun masih amat rancu. Masih melupakan hal-hal kecil
yang menimbulkan petaka di akhirat. Rabb,
adakah tempat untukku di Surga-Mu? . Aku meminta melalui dhuha-ku.
***
[Hari Kamis]
Aku sengaja, datang lebih awal ke tempat ini. Sekedar untuk beristirahat
sejenak atau sesekali membaca mushaf kecil pemberian Ummi. Beberapa anak telah berkumpul disana.
Anak-anak itu yang biasa aku temui di sekitar kampus dan jalan raya. Ya, mereka
anak-anak yang biasa mengemis. Meminta-minta recehan dengan cara bernyanyi
ataupun mengaduh.
“Tadi
aku ngambil makanan dari warung ... Mau?” tanya seorang anak yang memakai kerudung
putih kusam sambil menyodorkan sebungkus snack kecil ke temannya.
“Mau
.... Makasih ya,” jawab temannya yang berkerudung pink pucat.
“Tadi
aku dapetnya gratis looh ....” katanya sambil terus melahap snack itu.
“Oh,
dikasih sama Ibu warungnya ya?” tanya yang satunya, tanpa menoleh ke lawan
bicaranya.
“Engga
...” anak berkerudung putih pucat itu menjawab dengan datar.
“Terus?”
“Aku
ngambil dari warungnya terus langsung lari deh ke sini ...” jawabnya acuh.
“Eh,
kamu nyuri ya?!” si kerudung pink mulai sadar apa yang diucapkan temannya.
“Kata kak ustadz kan ga boleh kalau ngambil yang bukan milik kita ...”
“Tapi
kan, kata kak ustadz juga dalam hartanya orang kaya itu ada hak buat orang
miskin ...” keduanya terlibat dalam sebuah ‘diskusi’ kecil. Aku makin tertarik
mengamatinya.
“Iya,
ya ... Tapi kalau caranya mencuri kan haram ...”
“Benar
kata, Nabil ....” tiba-tiba suara teduh itu menghampiri dua anak tadi. Rupanya
dia telah berada ditempat itu ketika mereka memulai ‘diskusi’ kecilnya. Aku pun
tidak menyadari kehadiran pria berkacamata dengan jas hitam dan celana abu itu.
“Mengambil
benda, makanan, harta atau barang apapun dari orang lain tanpa sepengetahuan
mereka itu namanya mencuri. Meskipun orang itu orang kaya ...” ujar guru mereka
yang sekarang duduk diantara keduanya.
“Ohh
.. begitu yaa ... terus gimana dong ini kak ustadz ... kita udah abisin
makanannya ...” kata si anak berkerudung putih pucat itu.
“Nanti
kalian bilang ke Ibu warungnya, terus bayar ya ... Nih, Kak Ustadz kasih
uangnya ..” ucapnya sambil menyerahkan uang kertas pecahan lima ribu rupiah.
“Waah
... Ka Ustadz... Ini kebanyakan ...” kata si kerudung pink. Gembira.
“Sisanya
harus ditabung ya, jangan dipakai jajan lagi. Janji?” tanyanya sambil
mengangkat kelingling miliknya.
“Janji...!” mereka berdua tersenyum sambil mengangkat kelingkingnya. Aku hanya
tersenyum mengamati tingkah mereka yang lucu.
Selanjutnya
Kakak Ustadz itu mulai mengajar mereka. Diawali dengan ta’udz selanjutnya
bacaan juz amma sambil diikuti oleh suara-suara penuh semangat milik peri-peri
kecil itu. Selalu saja, ada setetes tawa di tempat ini. Sungguh, semua yang
terjadi ditempat ini membuatku dapat bernafas lebih lega.
***
[Hari Jumat]
Lagi, gara-gara mengikuti rapat Himpunan Jurusan aku melewatkan acara ‘ngaji’
bersama anak-anak itu. Aku segera masuk ke masjid itu. Ke tempat yang sama.
Aah, mereka masih disana sedang membereskan alat tulisnya, sepertinya akan
segera pulang. Aku terlambat.
Aku
selalu mengamati mereka dari sudut ini. Dibalik jendela dengan ornamen warna-warni
transparan di kacanya. Sementara itu, anak-anak yang sedang mengaji berada
diluar jendela tempat ku berada. Entah kenapa aku menyukai belajar bersama
mereka. Ku pikir, kepolosan mereka justru potensi kecerdasan yang mereka
miliki. Aku rindu menjadi anak kecil seperti mereka.
Hei,
ada yang berbeda disana. Kali ini si ‘Kak Ustadz’ itu bersama seorang perempuan
jilbaber. Mereka sama-sama mengajar? Setahuku, Ikhwan-Akhwat tidak pernah mau
berada di satu tempat yang sama. Biasanya selalu ada hijab diantara mereka.
Kenapa ini tidak? Apa mereka sedang pacaran?. Hei, lalu apa urusannya denganku?
Tiba-tiba aku tersentak dengan pertanyaanku sendiri. Ada rasa yang tak biasa
menyusup nurani.
“Kakak
Ustadzah, besok dateng lagi yaa ...” ucap salah seorang anak lelaki tambun
berkulit hitam sambil mencium tangan sang akhwat.
“Insya
Allah ya...” jawabnya lembut sembari mengelus kepala anak itu.
“Ustadzah
cantik, harus dateng pokonya ...” kali ini si kerudung hijau yang berbicara
sambil pamit pulang. Sang ustadzah hanya tersenyum manis.
Astaghfirullah
.. kenapa ini? Kenapa ada getar yang terus bergejolak. Haruskah aku cemburu
pada sosok asing itu? Sosok yang hanya ku kenal lewat jendela ini?. Rabb, ini
sungguh konyol. Aku kesini untuk menemui-Mu kan? Mengapa aku terpaut pada
ciptaan-Mu?. Rabb, tolong bimbing hamba-Mu yang bodoh ini ... Aku merasa malu
menghadap-Nya di maghrib kali ini.
***
[Hari Sabtu] “Yaa ... muqallibal
quluub tsabit qalbi ‘ala diinika ..”[1].
Hati ini milik-Mu, rasa yang bergejolak pun milik-Mu juga. Aku menemukan
kehidupan ditempat ini atas petunjuk-Mu. Jangan biarkan orang asing itu merenggut
perhatianku, mengikis rasa cintaku pada-Mu.
Aah,
Rabb .. aku memang manusia biasa. Demikian lemah bila menghadapi rasa seperti
ini. Demikian sulitkah bagiku untuk melepaskan semua rasa yang membelenggu erat
dalam nurani?. Bimbinglah aku untuk dapatkan cinta-Mu. Hanya cinta-Mu. Bukan
makhluk-Mu.
Genap
enam hari aku ada ditempat yang sama, dan sudut yang sama. Namun dengan suasana
yang berbeda kali ini. Sabtu pagi aku telah sampai ditempat ini. Untuk
mengerjakan makalah Aljabar Linier bersama beberapa orang dari kelasku.
“Apa
pendapat kalian tentang nikah dini?” tanya Mira ketika kami semua larut dalam angka-angka
dan rumus dari buku Pengantar Aljabar Linier.
“Eh,
mau nikah Mir? Ntar undang ya ..” jawab Raka yang kemudian fokus lagi pada
hitungannya. Mira hanya mencibir. Sementara aku dan Mei tersenyum melihat
tingkahnya.
“Kalau
menurut Nia?” Mira melempar pertanyaan ke arahku.
“Nikah? Hehee” Aku menggeleng
sambil mengangkat bahu. Dan kembali dengan vektor-vektor yang berderet
memanggil untuk segera ditemukan jawabannya.
“Ih,
kalian ga seru ah ... Diajak diskusi koq gitu ..” Mira cemberut dan kembali
memandang laptopnya yang masih menyala.
“Kayanya
pengalaman seru tuh ..” celetuk Isha yang telah menyelesaikan BAB I di layar
notebooknya.
“Seru?!”
tanya Raka sambil meninggalkan kertas-kertas yang penuh hitungan. “Seru gimana,
Mei?”
“Yaa,
serulah .. makanya di kampus kita trend nikah dini .. dari pada zina? pacaran?”
Mei membuka diskusi yang diinginkan Mira.
“Nah,
bener tuh Mei ! Mir juga setuju sama kamu ... ! Menurut Mir ya, kalau punya
suami kan bisa diandelin .. ehehe. Ada tempat berbagi juga ... Aah, so sweet pokoknya ..”
“Tapi,
mesti rasional juga kan? Maksudnya, masa sih kita mau maksain nikah tapi
finansial kita ga mendukung?” Raka terus mencerca pendapat Mei dan Mira. Aku
hanya mengamati mereka sambil berusaha menyelesaikan rangkaian vektor-vektor
ini.
“Nah,
jangan dijadikan alasan Ka ... Allah tuh selalu mengiringi hambanya selama niat
yang dia lakukan untuk ibadah” ucap Mei sambil terus mengetik dari buku-buku
yang dibawa olehku, Mira dan Raka.
“Malah
ya, kata seniorku di SMA ... Setelah nikah itu rezeki makin mengalir deras. Dan
ga ada istilah ga cukup.. Bahkan selalu lebih, malah ..” Mira makin bersemangat
dengan argumennya.
“Menurut
kamu gimana, Nia? Dari tadi ngurusin vektor mulu nih ...” Raka mengomporiku
untuk berargumen.
“Simpel
aja jika kamu udah siap dengan segala konsekuensinya. Ya silahkan ...
menikahlah. Tapi Rasulullah juga memberikan solusi lain kan ... Jika kamu belum siap maka berpuasalah (Hadist riwayat Bukhari & Muslim) ...
Nikah dini memang solusi, tapi jika dirasa belum siap tidak perlu dipaksakan
juga kan?”
Mereka
semua mengangguk. Mungkin setuju dengan pendapatku yang mereka bilang bijak.
Tapi, idealnya memang begitu kan?. Aku hanya menyampaikan sebagian kecil yang
ku tahu. Kemudian kami semua larut kembali dalam makalah Aljabar Linier yang
masih belum rampung. Sambil diselingin obrolan-obrolan ringan yang berakhir
dengan tawa khas Mira.
Menjelang
ashar, aku masih berada di tempat yang sama. Merampungkan sebagian lagi dari
tugas makalah ini. Raka, Mira dan Mei pamit terlebih dulu. Mereka punya jadwal
masing-masing hari ini. Sambil mengerjakan makalah yang tinggal daftar isi itu,
aku menyempatkan diri untuk mendengar peri-peri itu mengaji. Mereka ditemani
akhwat jilbaber itu.
Aku mengikuti acara ngaji bersama anak-anak ini seperti
biasanya. Pria berkacamata itu tidak ada di sana. Hanya sang akhwat dan
anak-anak itu. Aah, mungkin memang rasa itu harus dilepaskan dengan bebas. Dan
aku membiarkan diriku larut dalam suara-suara penuh semangat itu.
***
[Hari
Minggu] Langit pagi ini amat cerah. Biru cerah. Tanpa awan-awan bertebaran
diatas sana. Terimakasih, Rabb ... rasanya sekarang lebih baik. Semoga tetap
bertahan seperti ini. Aku menuju tempat penuh ketenangan itu. Menepati janji
pada akhwat yang memberikan selembaran biru, kamis kemarin.
“Silahkan
isi dulu daftar hadirnya, Ukhti ...” sapa akhwat dengan jilbab biru muda itu.
Apakah dia yang memberikan selembaran kemarin?. Aku tersenyum kemudian masuk ke
mesjid menempati tempat dengan hijab diantara peserta ikhwan dan akhwat.
Aku
mendengarkan materi yang disampaikan oleh pembicara. Tentang pemikiran Al-Kindy
yang luar biasa bahkan melebihi pemikiran Aristoteles dan Plato yang menggema selama
berabad-abad lalu tentang pemikirannya. Luar biasa, aku baru tahu.
Ternyata aku
terlalu disibukkan dengan Kalkulus dan Aljabar bahkan lebih mengenal
ilmuwan-ilmuwan Barat ahli matematika. Padahal islam begitu kaya dengan para
ilmuwannya terutama filosof dengan berbagai hasil pemikirannya yang luar biasa.
Aah,
aku memang buta tentang islam. Sedikit sekali rasanya ilmu keislaman yang ku
punya. Rasanya waktuku terbuang percuma untuk hal-hal yang tidak penting.
Mungkin ini saatnya melakukan perubahan. Menata hati yang beranjak gersang. Aku
telah membuka pintu munuju cahaya-Mu. Maka bimbinglah aku untuk tetap melangkah
dalam cahaya-Mu.
“Aku
kira Ukhti tidak akan datang ...” sambut seseorang ketika kajian hampir
selesai, gadis jilbaber yang ku rasa tidak asing itu duduk disamping kananku.
“Ohh,
iya ... Terimakasih ya,” ucapku sambil menyambut tanganya dan
ber-cipika-cipiki.
Gadis
jilbaber itu memang tidak asing. Memori baru terhubung dengan kejadian-kejadian
lalu. Dia adalah akhwat yang memberikan selembaran biru, kamis lalu. Dia juga
yang bersama pria berkacamata itu dua hari lalu. Aah, aku hanya menghela nafas
panjang.
“Ukh,
ini ... ada surat untuk Ukhti ..” dia menyerahkan sepucuk surat berwarna putih
bersih kepadaku. Aku
memandangnya heran kemudian perahan membuka surat tersebut.
Assalamu’alaikum ...
Terimakasih telah menemaniku mengaji bersama anak-anak.
Tetaplah berjalan di
cahaya-Nya, Ukh ... Allah senantiasa bersamamu ...--Mikail
“Kakak
saya, telah lama ingin mengucapkan terimakasih kepada Ukhti. Tapi karena tidak
tahu cara menyampaikannya bagaimana dia meminta saya membantunya. Dan ketika
melihat Ukh di balik jendela kemarin,
saya semakin yakin kalau Ukh adalah
orang yang saya temui kamis lalu di beranda masjid .. Bahkan keyakinan saya
semakin bertambah bahwa Ukh akan
datang hari ini ... Sungguh luar biasa, ya ..” ujar gadis cantik dengan balutan
jilbab cokelat itu.
Aku
masih tercengang. Menyadari bahwa skenario-Nya sungguh misteri yang tidak
pernah terduga. Sungguh, makhluk-Nya tidak akan pernah tahu tentang peristiwa
esok, lusa bahkan setiap detiknya ... Di ‘surga’ kecil ini, aku menemukan-Mu
dan skenario-Mu untukku. Tetaplah bimbing
hamba-Mu ini, Rabb ..
***
Januari 2012
0 komentar