#PejabatKampus : THE THREE MUSKETEERS

by - 11:36 AM


“Tak mampu melepasnya
walau sudah tak ada
batinku tetap merasa masih memilikinya
Rasa kehilangan, hanya akan datang
Jika kau pernah merasa memilikinya…”
-Letto, Memiliki Kehilangan-


Mungkin hari kemarin adalah puncaknya. Puncak dari pertemuan tak terduga, perjalanan panjang penuh liku dan perpisahan yang tak pernah tahu kapan akan kembali. Segalanya berjalan dan bergulir dengan cepat. Nampaknya waktu terlalu membuat nyaman sehingga tanpa sadar, tahu-tahu semua berlalu sangat cepat.

Empat tahun perjalanan memasuki dunia perkuliahan, baru terasa banyak kenangan berharga yang tak pernah disesali. Kenapa dulu memilih kampus UIN, kenapa harus jurusan Jurnalistik, kenapa bertemu orang-orang gila dengan tingkat kegilaannya masing-masing. Selanjutnya, akan kemana lagi perjalanan ini?
Mendadak, saya jadi sangat melankolis setelah ditinggalkan dua orang gila itu. Ya, Mamih dan Nazmi. Dua orang sahabat yang tidak pernah saya duga kehadirannya, dua orang setengah waras yang tahu-tahu datang dan menyeret saya dari kehidupan kampus yang biasa-bisa menjadi luar biasa. Ayolah, saya mendadak pengen nangis begitu ingat kenangan sama mereka. Sumpah!

Kemarin saya menyaksikan keduanya melangkah melalui jalan yang berbeda. Iya, saya menyaksikan kedua orang yang saya amat cintai itu pergi meninggalkan kenangan yang pernah kami torehkan bersama sama. Saat itu, saat menyaksikan kepergian mereka, saya menjelma menjadi sosok yang -seolah- baik-baik saja. Tanpa kesedihan, tanpa air mata. Namun -saat ini- ketika menulis dan mengingat kembali tentang mereka, seketika saya merasa seperti patah hati. Nampaknya, ditinggalkan sahabat jauh lebih sakit rasanya. T_T.

Melepaskan Keduanya
Subuh-subuh, pasca sahur dan shalat subuh tanggal 8 Juni 2014 mobil avanza berwarna hijau itu telah terparkir tidak jauh dari kosan saya. Di dalamnya ada Joyo dan Mamih yang sudah beruraian air mata diiringi isak tangis.Ya, hari itu, hari kepulangan Mamih ke Aceh. Kepulangan yang tidak pernah diinginkan orang-orang sekitarnya maupun dirinya sendiri. Baginya, Bandung adalah tempat yang penuh kenangan. Tempat yang menjadikannya sosok wanita amat kuat.

Itulah yang membuatnya berat untuk meninggalkan Bandung, sahabat-sahabatnya, anak-anak Pondok Kuning dan kami (Saya dan Nazmi).  Sepanjang perjalanan dari Bandung menuju Jakarta (Bandara Soekarno-Hatta) kami (Saya, Nazmi, Pitiw dan Joyo) berusaha terus menghiburnya. Apalagi Nazmi dengan kegejean dan kekonyolan yang membuat Mamih sesekali tersenyum, tertawa kemudian kembali terdiam.

Saat itu, saya pun hanya beberapa kali menanggapi obrolan yang terjadi di dalam mobil. Saya memilih untuk lebih banyak diam. Entahlah, rasanya mengantarkan dan menyaksikan orang yang biasanya selalu bersama, selalu berbagi dan selalu berkumpul membuat saya tidak rela untuk melepasnya. Harusnya saya punya kekuatan buat menghentikan waktu. Ya, andai saya punya. Sayangnya, saya hanya manusia biasa. Jadi saya hanya bisa menyaksikan segalanya berjalan dengan seharusnya. 

Sampai di Bandara, kami menyempatkan untuk foto bersama. Yaa, sejenis narsis di Bandara-lah yaa. Hahaha. Dan mengantarkan Mamih sampai menghilang di balik pintu Bandara. Saya berdiri agak lama setelah menyaksikan Mamih pergi, sampai akhirnya saya kembali menuju mobil untuk pulang ke Bandung. Saya hanya berbisik : Kelak, kehidupanmu disana harus lebih bahagia ya, Mamih… Jangan lupakan Bandung dengan setumpuk pahit-manisnya. September kita harus  ketemu lagi !

Miss you, Mamih :*
Di hari yang sama, tepatnya pukul 20.00 WIB, saya kembali menyaksikan satu orang gila lainnya pergi untuk belajar di Pare, Jawa Timur. Gila yaa, kedua orang gila itu tega ninggalin saya sendiri di Bandung ! Dan saya kembali merasakan kehilangan. Sepanjang perjalanan menuju Statsiun Kiaracondong, saya was-was, takut tidak bisa menyaksikan kepergian Nazmi.

Tepat lima belas menit sebelum keretanya berarngkat, saya sampai di Statsiun. Disana, Nazmi hanya ditemani Nyonya -pacarnya-. Kami ngobrol-ngobrol sebentar sampai akhirnya ada pengumumang bagi para penumpang untuk segera menuju kereta. Tidak ada isak tangis memang, walaupun beberapa kali Nazmi sempat khawatir dengan perjalanannya ketika sampai di Pare nanti.

Ya, saya menyaksikannya melangkah dengan pasti menuju kereta. Saya, kembali menyaksikan sahabat saya itu menggendong cariernya untuk melakukan perjalanan panjang tanpa kawan, sahabat dan saudara. Selamat jalan, Pa Nazmi … Semoga perjalananmu menyenangkan. Bandung menantimu untuk kembali pulang…

Seperti inilah akhirnya, saya menjadi satu-satunya TheThreeMusketeers yang masih belum move on dari Bandung. Menjadi satu-satunya yang menyaksikan kedua musketeers gila itu pergi melalui jalannya masing-masing. Semoga waktu masih mengizinkan kami untuk berkumpul kembali suatu saat nanti. Ya, suatu saat nanti. Dan sampai saat itu tiba, mari kita sama-sama berjuang untuk kesuksesan di masa depan. I’ll miss borth of you. Love you, guys !

the three musketeers, yeah !

Bandung, 090714
Salam kangen dari Bandung, gengs :*

You May Also Like

0 komentar

©