#PejabatKampus : THE THREE MUSKETEERS
“Tak mampu melepasnyawalau sudah tak adabatinku tetap merasa masih memilikinyaRasa kehilangan, hanya akan datangJika kau pernah merasa memilikinya…”
-Letto,
Memiliki Kehilangan-
Mungkin hari kemarin
adalah puncaknya. Puncak dari pertemuan tak terduga, perjalanan panjang penuh
liku dan perpisahan yang tak pernah tahu kapan akan kembali. Segalanya berjalan
dan bergulir dengan cepat. Nampaknya waktu terlalu membuat nyaman sehingga
tanpa sadar, tahu-tahu semua berlalu sangat cepat.
Empat tahun perjalanan
memasuki dunia perkuliahan, baru terasa banyak kenangan berharga yang tak
pernah disesali. Kenapa dulu memilih kampus UIN, kenapa harus jurusan
Jurnalistik, kenapa bertemu orang-orang gila
dengan tingkat kegilaannya masing-masing. Selanjutnya, akan kemana lagi
perjalanan ini?
Mendadak, saya jadi
sangat melankolis setelah ditinggalkan dua orang gila itu. Ya, Mamih dan Nazmi. Dua orang sahabat yang tidak pernah
saya duga kehadirannya, dua orang setengah waras yang tahu-tahu datang dan
menyeret saya dari kehidupan kampus yang biasa-bisa menjadi luar biasa. Ayolah,
saya mendadak pengen nangis begitu ingat kenangan sama mereka. Sumpah!
Kemarin saya
menyaksikan keduanya melangkah melalui jalan yang berbeda. Iya, saya
menyaksikan kedua orang yang saya amat cintai itu pergi meninggalkan kenangan
yang pernah kami torehkan bersama sama. Saat itu, saat menyaksikan kepergian
mereka, saya menjelma menjadi sosok yang -seolah- baik-baik saja. Tanpa kesedihan,
tanpa air mata. Namun -saat ini- ketika menulis dan mengingat kembali tentang
mereka, seketika saya merasa seperti patah hati. Nampaknya, ditinggalkan sahabat
jauh lebih sakit rasanya. T_T.
Melepaskan
Keduanya
Subuh-subuh, pasca
sahur dan shalat subuh tanggal 8 Juni 2014 mobil avanza berwarna hijau itu
telah terparkir tidak jauh dari kosan saya. Di dalamnya ada Joyo dan Mamih yang
sudah beruraian air mata diiringi isak tangis.Ya, hari itu, hari kepulangan
Mamih ke Aceh. Kepulangan yang tidak pernah diinginkan orang-orang sekitarnya
maupun dirinya sendiri. Baginya, Bandung adalah tempat yang penuh kenangan.
Tempat yang menjadikannya sosok wanita amat kuat.
Itulah yang membuatnya
berat untuk meninggalkan Bandung, sahabat-sahabatnya, anak-anak Pondok Kuning
dan kami (Saya dan Nazmi). Sepanjang
perjalanan dari Bandung menuju Jakarta (Bandara Soekarno-Hatta) kami (Saya,
Nazmi, Pitiw dan Joyo) berusaha terus menghiburnya. Apalagi Nazmi dengan
kegejean dan kekonyolan yang membuat Mamih sesekali tersenyum, tertawa kemudian
kembali terdiam.
Saat itu, saya pun
hanya beberapa kali menanggapi obrolan yang terjadi di dalam mobil. Saya
memilih untuk lebih banyak diam. Entahlah, rasanya mengantarkan dan menyaksikan
orang yang biasanya selalu bersama, selalu berbagi dan selalu berkumpul membuat
saya tidak rela untuk melepasnya. Harusnya saya punya kekuatan buat menghentikan
waktu. Ya, andai saya punya. Sayangnya, saya hanya manusia biasa. Jadi saya
hanya bisa menyaksikan segalanya berjalan dengan seharusnya.
Sampai di Bandara, kami
menyempatkan untuk foto bersama. Yaa, sejenis narsis di Bandara-lah yaa.
Hahaha. Dan mengantarkan Mamih sampai menghilang di balik pintu Bandara. Saya
berdiri agak lama setelah menyaksikan Mamih pergi, sampai akhirnya saya kembali
menuju mobil untuk pulang ke Bandung. Saya hanya berbisik : Kelak, kehidupanmu disana harus lebih
bahagia ya, Mamih… Jangan lupakan Bandung dengan setumpuk pahit-manisnya. September
kita harus ketemu lagi !
Miss you, Mamih :* |
Di hari yang sama,
tepatnya pukul 20.00 WIB, saya kembali menyaksikan satu orang gila lainnya pergi untuk belajar di
Pare, Jawa Timur. Gila yaa, kedua orang gila itu tega ninggalin saya sendiri di
Bandung ! Dan saya kembali merasakan kehilangan. Sepanjang perjalanan menuju
Statsiun Kiaracondong, saya was-was, takut tidak bisa menyaksikan kepergian
Nazmi.
Tepat lima belas menit
sebelum keretanya berarngkat, saya sampai di Statsiun. Disana, Nazmi hanya
ditemani Nyonya -pacarnya-. Kami ngobrol-ngobrol sebentar sampai akhirnya ada
pengumumang bagi para penumpang untuk segera menuju kereta. Tidak ada isak
tangis memang, walaupun beberapa kali Nazmi sempat khawatir dengan
perjalanannya ketika sampai di Pare nanti.
Ya, saya menyaksikannya
melangkah dengan pasti menuju kereta. Saya, kembali menyaksikan sahabat saya
itu menggendong cariernya untuk melakukan perjalanan panjang tanpa kawan,
sahabat dan saudara. Selamat jalan, Pa
Nazmi … Semoga perjalananmu menyenangkan. Bandung menantimu untuk kembali pulang…
Seperti inilah
akhirnya, saya menjadi satu-satunya TheThreeMusketeers yang masih belum move on dari Bandung. Menjadi
satu-satunya yang menyaksikan kedua musketeers gila itu pergi melalui jalannya
masing-masing. Semoga waktu masih mengizinkan kami untuk berkumpul kembali
suatu saat nanti. Ya, suatu saat nanti. Dan sampai saat itu tiba, mari kita
sama-sama berjuang untuk kesuksesan di masa depan. I’ll miss borth of you. Love you, guys !
Bandung, 090714
Salam kangen dari
Bandung, gengs :*
0 komentar