Fr(ee)day
Pagi, wedang jahe dan udara segar |
Pagi ini memang diluar kebiasaan sih, karena memang tidak biasa. Pagi hari Jumat ini saya memilih untuk menikmatinya bersama diri si-Aku (baca: diri sendiri). Saya meninggalkan sejenak kerjaan yang semalam saya kerjakan setelah sehari sebelumnya saya kerja extra-full time dari jam 07.00 (hari rabu)-02.00 (hari kamis) kemudian hari berikutnya dari jam 07.00 (hari kamis)-23.00(masih hari kamis). Lalu, pagi ini (hari jumat) saya memilih untuk bersantai sejenak menikmati pagi dan segelas wedang jahe di kebun belakang rumah.
Beruntungnya, orang-orang rumah sejak pagi udah berangkat jadi saya bebas untuk menikmati udara pagi sambil merenungkan berbagai macam. Sesekali saya tertawa, dan tak jarang saya pun tersedu sambil mengusapnya dengan tisu. Ternyata saya memang masih bimbang dalam menentukan arah, tujuan atau apapun itu namanya. Seringkali saya merasa terpojokan ketika seseorang dengan begitu ngototnya bertanya tentang tujuan hidup saya (di dunia, maksudnya). Saya merasa demikian -mungkin- karena memang saya masih bimbang tentang tujuan hidup.
Saya jadi berpikir, mungkin tujuan hidup saya adalah mencari tujuan *Hahaha*. Entahlah, saya merasa bisa melakukan apapun *kecuali hal-hal yang berhubungan dengan ilmu eksak sih*. Maksudnya saya bisa melakukan hal apapun karena saya tekun bukan karena saya cerdas atau pintar. Yap, karena saya cukup tahu diri sih, di luar sana masih banyak orang-orang yang memang benar benar cerdas. Saya juga engga begitu pandai berkomunikasi, padahal lulusan sarjana komunikasi *duuuh giiin! Tepok jidaat berkali-kali*. Eiits, tunggu dulu ... yang saya maksud, saya engga pandai berkomunikasi secara verbal atau lisan karena cakupan komunikasi kan bukan verbal aja tapi ada non-verbal juga. Sudaaaah suudaaah hentikan, nanti saya malahan sok-sok jadi dosen ilmu komunikasi dengan bobot 3 sks. :p
Saya lebih nyaman untuk berkomunikasi secara tulisan, sebenarnya, tapi bersosialisasi tidak cukup hanya dengan tulisan saja. Komunikasi secara lisan pun sangat diperlukan, terlebih lagi jika terikat dalam hubungan sosial. Iya sih, saya menyadari kondisi psikis dan fisik saya memang sedang capek luar biasa sehingga menanggapi obrolan seseorang tanpa dipikirkan sehingga orang tersebut merasa dipojokkan, diremehkan atau bisa jadi lebih stress meskipun maksud saya bukan demikian.
Tapi saat itu saya pun sedang capek dan tidak ingin disalahkan dengan sikap saya yang demikian. Saya sih inginnya lawan bicara saya memaklumi karena kondisi saya memang sudah tidak baik ketika sampai di rumah. Jadi, yang tadinya (saya) ingin berbagi cerita dan mendengarkan cerita malah berakhir dengan perasaan yang semakin memburuk. Terlebih lagi saya juga semakin sedih dan terluka dengan perkataan dia yang sudah tidak mempercayai saya sebagai lawan berbicaranya.
Saya menjadi teramat sedih dan terluka karena dia adalah orang terdekat saya. Orang yang setiap hari berbagi cerita bersama saya dari mulai yang engga penting sampai yang penting. Tapi biarlah, saya pun ga bisa memaksakan seseorang untuk selalu percaya sama saya. Saya pun ga bisa memaksakan seseorang untuk selalu bercerita tentang apa yang terjadi padanya -baik dan buruk-. Saya dan dia sama-sama terluka. Saya sudah meminta maaf karena melukai perasaannya dengan perkataan saya. Tapi dia masih mempertimbangkan untuk memaafkan saya. Saya makin terluka. Lalu? Entahlah, saya sedang tidak bisa berpikir jernih.
Saya jadi teringat perkataannya, Mizutani di film Tonari No Kaibutsu-kun (anime version), "Ketika aku bersamamu dadaku terasa sakit. Aku tidak bisa fokus belajar. Jadi aku tidak ingin melihat wajahmu."
Jadi ceritanya si Mizutani ini sakit hati sama si Haru gara-gara sikap dan perkataanya Haru. Terus si Haru nanya kenapa seharian ini kamu (Mizutani) menghindar terus darinya. Mizutani bilang kalau bareng sama Haru, dadanya semakin sesak, jadi dia ga mau ketemu Haru. Lalu temennya yang kacamata (namanya lupa) bilang, Mizutani seperti itu karena saking spesialnya Haru buat Mizutani. Jika bukan orang yang teramat spesial, kenapa Mizutani mesti sakit hati. Tapi Haru nya sok-sok engga ngerti gitu, meskipun akhirnya mereka pun membaik dan bareng-bareng lagi. Sesakit apapun, Mizutani sebenarnya ga mau jauh-jauh dari Haru. Yaaah cinta memang begitu yaa.. Iyaalaah, orang dua-duanya sama-sama suka sih. :p
Terimakasih, Aku... Setelah menulis ini rasannya lebih lega. Yaah.. meskipun engga bersolusi tapi entahlah terasa lebih ringan saja. Mungkin iya, saya bermaksud untuk memberitahu orang yang kemarin terlibat konflik dengan saya. Toh, cepat atau lambat dia pasti membuka blog saya dan nemu tulisan ini. Semoga setelah itu, kami bisa saling berbaikan ya. Seperti Mizutani, sesakit apapun yang dirasakannya dia ga pernah mau jauh dari Haru. Begitupun saya kepada dia.
Pagi di hari Jumat, 041215
0 komentar