#Cerpen : Dialog Bulan dan Bumi
Bumi selalu berjanji
padaku untuk sabar menanti pertemuan dengannya pasca fenomena gerhana matahari
yang terjadi dua bulan lalu. Kami hanya bertatapan secara langsung selama tiga
menit, setelah itu alam kembali mengharuskan kami untuk ke posisi semula.
Sejak Tuhan
menetapkanku sebagai satelit bagi Bumi, aku bahagia luar biasa. Mulanya aku
tidak tahu mengapa Tuhan menciptakan benda langit yang buruk rupa sepertiku.
Aku pun tidak tahu mengapa Tuhan menciptakan permukaanku sunyi tanpa penghuni. Iya,
saat itu aku merasa sepi. Hampa dan melompong tanpa pernah tahu hangatnya
keramaian.
Namun rupanya Tuhan
memang Maha Baik. Tuhan memasangkanku dengan Bumi. Planet dimana terdapat banyak
kehidupan. Permukaan Bumi tidak pernah sunyi, seringkali aku mendengar
sayup-sayup panggilan yang terasa asing bagiku. Menurut Bumi, setiap datang
panggilan itu para manusia berbondong datang ke suatu tempat untuk berdoa
kepada Sang Pencipta.
“Pasti menyenangkan
memiliki penghuni seperti mereka.” ujarku saat kami berpapasan dalam fenomena
gerhana matahari.
“Tidak juga. Aku nyaris
ketakutan setiap kali menghadapi fenomena seperti ini.” sahut Bumi nampak
tegang dari biasanya.
“Kau tidak suka bertemu
denganku secara langsung, Bumi?” tanyaku heran. Padahal aku sangat menantikan
fenomena langka seperti ini.
“Bukan, bukan itu
maksudku…. Maksudku, aku sangat senang dapat bertemu langsung denganmu. Namun
juga ketakutan jika Tuhan menghendaki hal lain terjadi pada cakrawala ini.”
“Mengapa takut?
Bukankah kita sudah menjalankan perintah Tuhan dengan selalu berotasi mengikuti
skenario-Nya?”
“Kau mungkin tidak tahu
rasanya menjadi pijakan bagi makhluk bernama manusia.” lanjut Bumi nampak
sendu.
“Hei, bukankah mereka
setiap harinya selalu berdoa kepada Tuhan? Apalagi ketika fenomena ini
berlangsung, aku mendengar banyak puja-puji untuk Tuhan.”
“Mereka—manusia itu
tidak seluruhnya memuji dan mengagungkan Tuhan. Kebanyakan dari mereka justru
menjadi pendosa. Beberapa bagian dari tubuhku mereka keruk tidak henti.
Beberapa aliran air di permukaanku mereka kotori sesuka hati. Bahkan ketika
fenomena ini berlangsung mereka bersorak-sorai dengan meniup terompet atau
petasan tiada henti.”
“Sebab itukah setiap
kali fenomena ini berlangsung kau tampak sedih?”
“Aku khawatir sekaligus
takut jika kemungkinan buruk terjadi pada jagat raya ini dan manusia yang ada
di permukaanku masih menjadi pendosa. Ah, entahlah apa yang akan terjadi pada
mereka nantinya …”
“Aku mengerti sekarang.
Semoga saat fenomena alam lainnya akan lebih banyak manusia yang mengagungkan
Tuhan dan semoga Tuhan masih memberikan kita semua kesempatan untuk memohon
ampun.” Aku melambai kepada Bumi sebagai salam perpisahan, karena fenomena
gerhana matahari telah berakhir.
Kupikir kehidupan di
permukaan bumi demikian stabil dan penuh kedamaian. Entah mengapa aku merasa
beban Bumi jauh lebih berat. Bagaimanapun juga Bumi telah berperan tanpa lelah
melindungi manusia di permukaannya. Ketika manusia itu membuat kerusakkan wajar
kan Bumi merasa khawatir?
*Tengah hari, 040516
0 komentar