#Cerpen : Dialog Bulan dan Bumi

by - 6:25 AM




Bumi selalu berjanji padaku untuk sabar menanti pertemuan dengannya pasca fenomena gerhana matahari yang terjadi dua bulan lalu. Kami hanya bertatapan secara langsung selama tiga menit, setelah itu alam kembali mengharuskan kami untuk ke posisi semula.

Sejak Tuhan menetapkanku sebagai satelit bagi Bumi, aku bahagia luar biasa. Mulanya aku tidak tahu mengapa Tuhan menciptakan benda langit yang buruk rupa sepertiku. Aku pun tidak tahu mengapa Tuhan menciptakan permukaanku sunyi tanpa penghuni. Iya, saat itu aku merasa sepi. Hampa dan melompong tanpa pernah tahu hangatnya keramaian.

Namun rupanya Tuhan memang Maha Baik. Tuhan memasangkanku dengan Bumi. Planet dimana terdapat banyak kehidupan. Permukaan Bumi tidak pernah sunyi, seringkali aku mendengar sayup-sayup panggilan yang terasa asing bagiku. Menurut Bumi, setiap datang panggilan itu para manusia berbondong datang ke suatu tempat untuk berdoa kepada Sang Pencipta.

“Pasti menyenangkan memiliki penghuni seperti mereka.” ujarku saat kami berpapasan dalam fenomena gerhana matahari.

“Tidak juga. Aku nyaris ketakutan setiap kali menghadapi fenomena seperti ini.” sahut Bumi nampak tegang dari biasanya.

“Kau tidak suka bertemu denganku secara langsung, Bumi?” tanyaku heran. Padahal aku sangat menantikan fenomena langka seperti ini.

“Bukan, bukan itu maksudku…. Maksudku, aku sangat senang dapat bertemu langsung denganmu. Namun juga ketakutan jika Tuhan menghendaki hal lain terjadi pada cakrawala ini.”

“Mengapa takut? Bukankah kita sudah menjalankan perintah Tuhan dengan selalu berotasi mengikuti skenario-Nya?”

“Kau mungkin tidak tahu rasanya menjadi pijakan bagi makhluk bernama manusia.” lanjut Bumi nampak sendu.

“Hei, bukankah mereka setiap harinya selalu berdoa kepada Tuhan? Apalagi ketika fenomena ini berlangsung, aku mendengar banyak puja-puji untuk Tuhan.”

“Mereka—manusia itu tidak seluruhnya memuji dan mengagungkan Tuhan. Kebanyakan dari mereka justru menjadi pendosa. Beberapa bagian dari tubuhku mereka keruk tidak henti. Beberapa aliran air di permukaanku mereka kotori sesuka hati. Bahkan ketika fenomena ini berlangsung mereka bersorak-sorai dengan meniup terompet atau petasan tiada henti.”

“Sebab itukah setiap kali fenomena ini berlangsung kau tampak sedih?”

“Aku khawatir sekaligus takut jika kemungkinan buruk terjadi pada jagat raya ini dan manusia yang ada di permukaanku masih menjadi pendosa. Ah, entahlah apa yang akan terjadi pada mereka nantinya …”

“Aku mengerti sekarang. Semoga saat fenomena alam lainnya akan lebih banyak manusia yang mengagungkan Tuhan dan semoga Tuhan masih memberikan kita semua kesempatan untuk memohon ampun.” Aku melambai kepada Bumi sebagai salam perpisahan, karena fenomena gerhana matahari telah berakhir.

Kupikir kehidupan di permukaan bumi demikian stabil dan penuh kedamaian. Entah mengapa aku merasa beban Bumi jauh lebih berat. Bagaimanapun juga Bumi telah berperan tanpa lelah melindungi manusia di permukaannya. Ketika manusia itu membuat kerusakkan wajar kan Bumi merasa khawatir?


*Tengah hari, 040516

You May Also Like

0 komentar

©