[Pernah] Jadi Jurnalis
Sekali-kali boleh narsis lah yaw :p |
Hm, ada yang berprofesi
sebagai jurnalis? *ajungin tangan dongs, Hahaha*. Saya ikutan ngacungin tangan
deh, gini-gini juga saya pernah jadi jurnalis tahu *senyum bangga*. Oke, tapi
setelah lulus dari jurusan kewartawanan ini saya tidak memilih untuk menjadi
jurnalis. Lah? Terus… buat apa kamu
kuliah di jurusan Jurnalistik? *tanda tanya sambil muka bengong, Hahha*
Ee…tapii… di postingan
kali ini saya engga akan cerita tentang mengapa saya engga jadi jurnalis
sebagai profesi saya. Postingan ini khusus membahas tentang pengalaman saya
yang (pernah) jadi jurnalis. Hehehe. Yap, siapa tahu diantara para pendatang
yang nyasar ke blog saya ini ada yang berminat untuk masuk ke jurusan Ilmu
Komunikasi Konsetrasi Jurnalistik seperti saya.
Baiklah… check this out deh
yaaa……
Oke, masa kuliah saya
sangat tepat waktu. Masuk tahun 2010 dan lulus tahun 2014. Yap, empat tahun
pas—engga prematur dan engga … istilahnya apa yaa? pokoknya engga kelebihan
laah. Jurusan yang saya ambil adalah Ilmu Komunikasi dengan konsentrasi di
bidang Jurnalistik. Mulanya saya ambil jurusan ini—sebenarnya memang bukan
berniat untuk jadi wartawan setelah lulus, meskipun sempat tertarik untuk
menekuni profesi ini.
Yap, selama saya kuliah
di jurusan jurnalistik dan punya kesempatan untuk kunjungan atau magang di
beberapa media, sedikitnya saya jadi tahulah kerjaan jurnalis itu seperti
apa—karena saya pun pernah mengalaminya. Sebenarnya enak dan engga enak itu
memang tergantung mindset kita sih.
Tapi yaa… saya kasih tahu aja ya enak sama engga enaknya jadi jurnalis itu
seperti apa.
Mari mulai dengan engga
enaknya dulu. Kesan pertama jadi
jurnalis itu CAPEK, MAAAKKKK! Cari berita dari satu tempat ke tempat lain,
kejar narasumber dari si A kemudian ke si B, dan memantau isu terhangat baik
regional, nasional maupun internasional—nah kalau ini jadi berasa orang yang
paling update tentang berita, Hahaha.
Iya, mau jadi wartawan cetak ataupun elektronik harus siap dengan konsekwensi
terpapar sinar matahari dan terguyur hujan deras. It’s true, dan saya pernah mengalaminya -____-.
Kedua,
bersiap-siaplah untuk bekerja di hari libur nasional. Iyalaah, jurnalis itu
engga ada matinyee… eeh maksud saya engga ada liburnya dan engga tahu waktunya.
Jurnalis itu bukan pekerja kantoran yang masuk dari senin sampai jumat dari jam
08.00-17.00. Oh no ! Dalam satu bulan itu liburnya engga pasti, bisa jadi
minggu pertama dapet jatah libur hari senin, minggu kedua dapet jatah libur
hari rabu, dst… Yang jelas, sangat kecil kemungkinan dapet libur di hari weekend.
Ketiga,
siapkan mental jika tulisan atau hasil liputan lewat dari deadline atau bahkan—karena
saking jeleknya tulisan kita, akhirnya Pimpinan Redaksi bilang tolol, bego, dan sejenis umpatan
lainnya. Hahaha. *meskipun saya belum pernah mengalami, tapi teman-teman saya
yang sudah jadi jurnalis pernah ngalamin hal ini juga*. Yah, intinya sangat
perlu banget untuk menyiapkan mental kita ketika—hasil tulisan kita sangaat
jelek.
Keempat,
beban moral tingkat tinggi—dan menurut saya ini yang paling penting sih. Secara
teori, menjadi jurnalis itu harus independen dan idealis. Independen tuh engga boleh memihak
salah satu kubu/partai/golongan. Intinya berita yang harus kita hasilkan harus
se-netral-mungkin. Dan idealis itu artinya kita punya prinsip untuk jadi
wartawan yang BENER-BENER WARTAWAN bukan WARTAWAN AMPLOP yang bisanya mengancam
narasumber atau menulis berita yang engga sesuai fakta. Hadeuuh, mending sobek aja tuh kartu pers nyaaa~~~
Naah, tapi…. menjadi
jurnalis itu ada enaknya loh. Iyalaah, saya kasih tahu yaa… berdasarkan
pengalaman pribadi saya dan teman-teman saya. Pertama, dapet makan gratis. Oyeah.. saya pernah tuh liputan
kuliner dan ketika mau bayar, penjualnya menolak uang saya. Alasannya karena
kami udah mau meliput makanan mereka jadi kami engga usah bayar. Nah, looh…
enakkan? Kartu per situ memang kartu istimewa, Hahahha. Eitss, tapi engga boleh dimanfaatkan untuk
tipu-tipu yah.
Kedua,
jalan-jalan gratis. Coba, siapa yang engga doyan
jalan-jalan? Saya yakin pada doyan jalan-jalan kan.. Apalagi kalau jalan-jalannya
dibayarin. Widih, mantep tuh. Saya tahu ini dari beberapa teman yang sudah
menjadi jurnalis. Mulai dari luar kota, luar pulau sampai luar negeri mereka
datangi dengan modal gratis. Yes, memang inilah bagian menyenangkan dari
seorang jurnalis.
Ketiga,
nonton gratis. Mau nonton apa? Konser artis
ibukota? Konser band internasional? Sirkus mancanegara?
Pertandingan sepakbola? Aduuhhhh, dengan modal kartu pers kamu bisa masuk
secara cuma-cuma laahh… Makanya jadi jurnalis itu enak kan? Kamu cukup bermodal
kertas dan bolpoin tulis kejadian dari sisi yang paling menarik dan
taraaaammmm! Jadilah sebuah berita. Mantep!
Keempat,
memiliki kartu pers adalah keistimewaan bagi para jurnalis
agar terbebas dari jeratan polisi. Hehehe, untuk yang satu ini pliisss jangan
ditiru ya. Beberapa dari teman saya lolos dari jeratan tilang Pak Polisi
setelah menunjukkan kartu pers tempat mereka bekerja. Meskipun teman-teman saya
ini salah juga sebenarnya, kesalahannya seperti engga menyalakan lampu sen, nerobos
lampu merah, belok di rambu forbidden.
Tapi pliss ya kawan-kawan, perbuatan seperti ini apapun alasannya sangat
sangat tidak disarankan.
Yaaah, begitulah balada
jadi jurnalis. So, ada yang berminat menjadi jurnalis bersih disini?
-Hujan dipenghujung
sore, 040516
0 komentar