#Cerpen : Sebuah Firasat Setelah Sewindu
Logika dan hati nyaris
tidak pernah selaras jika berbicara tentang cinta. Nyatanya, cinta bukan
untuk dipikirkan namun diresapi setiap balutannya menggunakan alat
bernama hati. Itu sebabnya, cinta dapat meruntuhkan yang tadinya kokoh,
dan menguatkan yang tadinya rapuh.
Dan sepertinya, perasaan
asing ini adalah cinta. Cinta yang sanggup menyapa melalui isyarat,
cinta yang hanya mampu terasa tanpa terucap dan cinta yang hanya sanggup
menggapai sebatas satu pertemuan.
Nyaris sewindu berlalu,
seharusnya perasaan asing itu terlupakan oleh waktu. Namun, lagi-lagi
waktu enggan melakukannya. Entahlah, jauh di belahan bumi lainnya
mungkin ada seseorang yang melakukan hal sama sepertiku.
Tentu saja ini pemikiran
konyol. Konyol jika selalu logika yang berkata. Mungkin seperti inilah
cara hati berbicara, melalui firasatnya. Terkadang firasat seseorang
bisa sangat kuat ketika dihadapkan dengan orang yang dicintainya.
***
Pagi ini seharusnya
berjalan lebih baik. Setelah sepekan lamanya dihinggapi mimpi-mimpi aneh
yang sulit diterjemahkan. Tentang siapa ini?
Samar-samar siluet
seseorang berdiri tidak jauh dari tempatku. Dia berdiri diujung tebing
dan tiba-tiba melambaikan tangannya kearahku. Selanjutnya sosok itu
hilang entah ke mana, setelah kabut datang dan badai menerpa tempat
tersebut.
Sosok itu amat samar,
aku tidak bisa mengidentifikasi apakah itu laki-laki atau perempuan.
Yang jelas –meski tidak dapat melihatnya secara jelas- dia tersenyum
ketika melambaikan tangannya. Dan ada semacam perasaan tidak rela ketika
sosok tersebut melampaikan tangannya. Seperti ... ucapan selamat
tinggal untuk selamanya.
Aku meraih ponsel yang
tergeletak diatas meja kerja. Dengan keadaan berantakan, tanpa pikir
panjang aku memanggil satu nama yang tertera dalam deretan kontak di
ponselku. Ibu.
"Assalamualaikum, Ibu.. Ibu lagi di mana?" tanyaku terburu-buru, nuansa gelap berpadu secercah warna terang di ufuk timur mulai terlihat.
"Wa'alaikumsalam, ada apa Ran? Ibu lagi di rumah mau berangkat ke pengajian subuh. Kenapa?" jawab Ibu dengan nada suara heran.
"Sama siapa ke sana?" Berharap Kiran di sana dan mau mengantar Ibu. Kiran adalah adik bungsuku. "Dianterin Kiran, udah ya, Ibu sama Bapak mau berangkat," Ibu menutup teleponnya.
Jika Ibu baik-baik saja,
semua mimpi itu untuk siapa? Selain Ibu, tidak ada lagi sosok yang
mampu membangkitkan firasat asing ini.
Ini pertama kalinya
setelah sewindu berlalu. Aah, ini cuma sekelebat perasaan saja, kan?
Bukan untuk dipikirkan apalagi dipusingkan. Hanya lakukan seperti
biasanya.
"Lo sakit? Kelihatan pucat," tanya Prima ketika rapat proyeksi. Dia salah satu cameraman terbaik yang bertugas dalam program kami.
"Masa? Padahal gue sehat
loh, Pri. Hahaha," jawabku asal. Pri sudah seperti kakak sendiri.
Hampir dua tahun ini aku dan dia berada dalam satu tim di program yang
sama.
"Ran, congrast ! This is your lisence !" ujar Purwa, pimpinan redaksi dalam program ini. Dia menyerahkan secarik kertas.
"Aaaaaaaa ! Ini serius
Purwa ?!" aku nyaris tidak percaya. Ada perasaan yang meletup-letup.
Bukan kembang api lagi, ini bom yang siap meledak.
"Oke, saya jelaskan
dulu. Program kita menjadi program feature perjalanan dengan rating
tertinggi sampai saat ini. Terutama untuk episode Ekspedisi Papua.
Sebagai pimpinan saya akan menurunkan Ran sebagai reporter untuk
Penjelajahan Amazon. Saya rasa Ran sudah memiliki banyak pengalaman dua
tahun ini," jelas Purwa.
Ini melebihi hadiah
ulang tahun ! Aku harus menunggu sampai delapan tahun untuk bisa
menginjakkan kaki di luar negeri ini. Ya, untuk karirku sebagai reporter
setidaknya proses itu berlangsung sangat lama dan sulit. Terima kasih,
Tuhan. Terima kasih.
"Selama satu bulan ini kita terus briefing. Pokoknya saya pengen episode Penjelajahan Amazon bisa berhasil dan program kita tetap yang tertinggi !" ujar Purwa.
Setiap orang dalam tim
ini mulai sibuk dengan pembagian tugas yang diberikan Purwa. Aku dan Pri
ikut mengumpulkan data-data tentang Amazon, Lea mulai mencari bahan
untuk penulisan skrip yang akan dijadikan panduan untukku, sedangkan
Rendi dan timnya mengurus segala macam perizinan yang kami butuhkan dan
peralatan yang harus kami bawa untuk menjelajahan.
***
Seminggu lagi
pemberangkatan pertamaku ke luar negeri ini. Ada perasaan aneh yang
sulit diterjemahkan. Entah kenapa, padahal ini adalah momen yang
ditunggu-tunggu sejak menginjakkan kaki di jurusan bernama Jurnalistik.
"Ran, lo beneran
baik-baik aja, kan?" belakangan ini Pri sangat mengkhawatirkan
keadaanku, seolah dia bisa menebak apa yang sedang terjadi.
"Pri, lo percaya sama firasat ga?" tanyaku seketika. Pri yang sedang membersihkan kameranya terdiam sejenak.
"Enggalah," jawabnya
acuh, "Gue sama sekali ga percaya, lagian kalaupun firasat itu
bener-bener terjadi ga ada yang bisa kita lakukan, kan?"
"Setidaknya kita bisa bertemu atau memperingatkan orang yang bersangkutan gitu, Pri ... Sebelum kejadiannya datang..,"
"Lo kenapa sih? Lo
jangan selalu nurutin perasaan-perasaan aneh yang lo sendiri ga tahu
maksudnya. Biarpun lo cewek, logika lo juga harus lebih kuat daripada
hati lo,"
"Pri, gue bener-bener ga tenang sekarang. Tiba-tiba gue ragu buat berangkat ke Amazon,"
"Jangan bilang ini tentang seseorang delapan tahun lalu..," sahut Pri, menatap sejenak dan kembali fokus pada kameranya.
***
Persiapan untuk
penjelajahan telah rampung. Aku tinggal mempersiapkan mental dan hati
untuk pemberangkatan besok. Paspor, visa dan tiket pesawat telah
dipersiapkan jauh hari. Begitu pun dengan seluruh kru yang berangkat
besok. Tapi rasanya ... perasan asing itu masih saja melekat.
"Maharani? Ini dengan
Maharani?" panggil seseorang dari ujung telepon. Aku agak menjauhkan
ponsel dari telingaku. Suara pria ini hampir memecahkan gendang telinga.
"Maaf, dengan siapa saya berbicara?" nomornya tidak terdaftar dalam kontak.
"Ini Dewan," jawabnya,
desahan napasnya terdengar jelas. "Galang ... jatuh dari tebing setinggi
4000 meter, Ran. Kamu lagi di mana?"
Jadi ... firasat ini, Galang? Aku terduduk seketika. Entah sedih, entah lelah. Mati rasa, itu yang bisa kuterjemahkan.
"Ran?! Ran?! Maharani?!" panggil Dewan.
Panggilan Dewan tidak terdengar lagi, rupanya keadaan mati rasa ini telah membuatku kembali memutar ingatan sewindu lalu.
"Kita jalani dan
nikmati saja, Ran... seperti air yang mengalir perlahan, tenang, dan
pasti," ujarnya penuh ketenangan. Dia memang jelmaan aliran air.
"Ya, kita ga punya
pilihan lain selain menjadi aliran air, kan? Lain kali, jika aliran air
mengharuskan kita mengalir di jalan yang berbeda. Kamu harus berusaha
menemukan aku ya..." Aku agak mendesaknya untuk berjanji.
"Jika sebelum
waktunya saya tidak bisa menepati janji? Apa yang akan kamu lakukan?"
tanyanya tanpa menatapku yang sejak tadi menatapnya dengan jutaan tanya.
"Aku harus menerima,
karena takdir telah berbicara." Sejujurnya bukan pertanyaan itu yang aku
harapkan, bukan pula jawaban bijak yang aku lontarkan.
Selanjutnya, dia meraih tanganku dan mengenggamnya erat. Seperti hendak menyakinkan dan menguatkan.
Akhirnya, firasat itu
... menunjukkan bahwa hadirnya adalah pengingat. Kedatangannya adalah
usaha untuk bergegas bukan berdiam. Namun takdir selalu memiliki rotasi
tersendiri yang tidak dapat dihentikan begitu saja walaupun dengan
sebuah firasat.
***
P. S : Cerpen ini terhimpun dalam kumpulan cerpen Diorama yang tayang setiap seminggu sekali di akun Wattpad saya @aginpoespa . Jika ingin menikmati lebih lengkap, silakan mampir ke link ini, ya... (langsung aja klik kata "ini")
Happy reading ! :)
0 komentar