#GameLevel1 : Belajar Menyusun Kata Positif (Day 2-Bunsay Pranikah Batch #3)
Seperti biasa sekitar pukul 04.15-an, kegiatan subuh saya awali dengan telepon Sen. Empat kali telepon saya dikacangin! Oke, saya udah mulai terbiasa, sih, untuk mengendalikan emosi kayak begini. Selang tiga puluh menit sejak telepon terakhir saya, saya coba telepon lagi. Viola! Telepon akhirnya diangkat.
“Assalamu’alaikuum, baru bangun kah?” tanya saya dengan intonasi yang sesantai mungkin.
“Wa’alaikumsalam, udah dari tadi, sih... Ini baru selesai shalat dan mandi,” jawabnya dari ujung telepon.
“Wih, mantep, ya, pagi ini udah berhasil bangun subuh dan shalat. Alhamdulillah, keren !” puji saya sambil disertai teriakan ‘Yes!’ dalam hati.
Alhamdulillah, ya,
saya seneng banget Sen akhirnya berhasil shalat subuh. Apakah ini efek
dari cara saya berkomunikasi kemarin?
Bisa jadi, ini salah satu efek dari cara saya menyampaikan pesan kepada Sen,
namun sebenarnya yang paling besar mengambil peran ini adalah diri Sen sendiri.
Dia bertekad untuk rajin shalat, dan saya hanya membantu sebisanya tanpa
membuatnya merasa terpojok dengan cara saya menyampaikan pesan.
Sore harinya, saat saya lagi kerja depan laptop dan (sebenarnya) dikejar deadline
juga... Sen tiba-tiba telepon. Yaa,
sebenernya, sih, dia memang boleh telepon kapan aja. Saya masih depan laptop
waktu ngobrol-ngobrol santai. Tapi saat obrolan makin serius, saya beranjak
dari laptop dan fokus ke telepon Sen. Entah sejak kapan tepatnya, tapi mendadak
saya kayak tahu sinyal-sinyal Sen kalau lagi mau curhat atau cerita tanpa saya
harus nanya ‘kamu kenapa?’.
“Tadi aku berantem sama Mama lagi,” lontarnya setelah kami ngobrol ke sana-kemari.
“Kenapa lagi?” tanya saya. Oke, Sen memang sudah punya problem yang cukup rumit dengan keluarganya. Problem ini juga yang akhirnya membuatnya mengidap mental illness seperti Anxienty Disorder, Depression, dan sempat didiagnosa oleh Psikiater kalau dia mengalami Bipolar.
“Bukan masalah yang penting sebenernya, tapi aku tahu kalau Mama lagi bohongin aku dan aku nggak suka. Tadi aku lebih menunjukkan aja, nggak mendem-mendem lagi...,” Sen menceritakan lebih detil tentang apa yang terjadi padanya dan entah untuk kesekian kalinya kembali menceritakan tentang masa kecilnya yang nggak bahagia.
Sumber : pinterest |
Sejak dulu saya sebenernya selalu takut kalau menanggapi Sen yang lagi curhat, karena isi curhatannya berat-berat menurut saya. Takut di sini maksudnya, takut saya salah ngomong dan Sen malah nggak enak hati dengan tanggapan saya. Soalnya, ini pernah kejadian, sih. Apalagi dengan latar belakang Sen yang punya mental illness, saya dituntut untuk sebisa mungkin menggunakan kata-kata positif tanpa ada unsur memojokkan, menyalahkan, atau menyinggungnya sedikit pun.
“Kamu hebat tahu udah sampai di titik ini. Nggak semua orang yang punya masalah dalam keluarganya, terus bisa bertahan sampai sekarang. Aku percaya kamu bisa lewatin ujian ini. Ga apa-apa, kamunya deket-deket terus sama Allah, ya,” sahut saya yang udah sekuat tenaga untuk memilih diksi saat menyampaikan tanggapan saya.
“Iya,” jawabnya singkat.
Sebelum dapet materi tentang Komunikasi Produktif, saya pernah menyampaikan tanggapan serupa kepada Sen dan sempat dikomentari oleh Sen kalau pemilihan kata-kata saya saat menyampaikan pesan kepadanya udah membaik dari sebelumnya.
Saat itu saya belum tahu tentang Komunikasi Produktif ini, saya hanya merasa saya lebih baik melontarkan kata-kata positif yang memberikan support daripada kata-kata yang menyalahkan Sen atau siapa pun yang terlibat konflik dengannya. Tapi, ya, gitu sih... Sayanya masih belum terbiasa dan konsisten pake kata-kata positif, nih.
Apalagi bagi pengidap depresi seperti Sen, sebenernya komunikasi yang dilakukan cenderung lebih sulit. Yang pernah saya tahu tentang depresi, dari luar memang cenderung tidak berbeda dengan orang normal bahkan depresi ini mirip-mirip dengan sedih. But, you know what? Depresi jauh lebih serius dari sekadar perasaan sedih. And it's not something that the person can help or just get over saying "Lo lebai deh!", "Ayo keluar buat jalan-jalan", "Lo cuma butuh piknik" karena itu nggak ngaruh banget buat penderita depresi.
Melalui akun youtube-nya, Julia Kristina--seorang terapis kejiwaan mengungkapkan jika membersamai seseorang yang memiliki depresi memang tidak mudah terkadang saat kita berpikir dan sudah berusaha menolong justru itu makin memperburuk suasana penderita depresi, karena kita melakukan kesalahan bahkan dari pemilihan kata saat menyampaikan tanggapan kita.
Seseorang dengan depresi hanya membutuhkan support yang besar dari orang-orang terdekatnya. Mereka nggak butuh nasihat-nasihat dari kita karena mereka sudah tahu hal itu hanya saja akibat mental illness, mereka sama sekali nggak bisa mengendalikan perasaannya.
So, yeah, sedikit-banyak ada kaitannya dengan kaidah 2C yang saat ingin sedang saya aplikasikan kepada Sen, terutama pada bagian pemilihan diksi positif. Memilih kata-kata positif itu cukup sulit rupanya.Sebenarnya, bukan sama Sen aja, sih... sama semua orang yang kebetulan berinteraksi dengan saya. Dalam diskusi di kelas Bunsay Pranikah, semua member sepertinya sepakat kalau hal terpenting dalam komunikasi produktif ini adalah praktik, latih, dan ulangi.
Tetiba saya menyadari, bisa jadi nggak terbiasa melakukan komunikasi produktif karena masih ada yang salah dalam cara kita berkomunikasi dengan diri sendiri. Termasuk menggunakan diksi positif saat berada dalam situasi sulit. Ini catetan banget buat saya pribadi.
#hari2 #gamelevel1 #tantangan10 hari
#komunikasiproduktif #kuliahbunsayiip
Bandung, 011117
Untuk kenyamanan tokoh yang terlibat dalam cerita ini, nama sengaja saya samarkan. Berhubung posting di blog bersifat publik. Terima kasih.
0 komentar