#GameLevel1 : Mengendalikan “Apa yang Sebaiknya”, Bukan “Apa Inginnya” (Day 1-Bunsay Pranikah Batch #3)

by - 3:52 AM

Subuh jam 04.37 WIB dengan kondisi mata yang masih sepet karena harus bangun, saya langsung menyambar handphone dan mencari salah satu nomor yang sudah sangat saya hafal namanya (bukan nomornya, hahaha). Itu nomornya Sen, sahabat saya.

Dua kali telepon berdering, Sen nggak kunjung angkat telepon saya. Niatnya, saya mau ngingetin dia buat shalat subuh. Sen, meskipun usianya dua tahun lebih tua dari saya namun masih merasa kesulitan untuk melaksanakan kewajiban shalat lima waktu, terkadang masih belum konsisten melaksanakan kelimanya. Kondisi ini membuat saya—sebisa mungkin ingin membantu Sen.

Keadaan ini cukup beralasan buat saya. Sejak kecil Sen nggak pernah dibiasakan untuk melaksanakan shalat lima waktu pun jarang sekali melihat kedua orang tuanya melaksanakan kewajiban ini. Jadi, saat Sen menyadari kalau Allah itu nyata dan shalat adalah komponen penting dalam hidupnya, Sen mulai bertekad untuk kembali belajar shalat lima waktu. And... we was met by God’s destiny!
Kembali pada kejadian subuh tadi, saya yang sebenernya masih bisa tidur-tidur cantik karena sedang berhalangan untuk shalat, tapi saya memilih untuk berjuang  telepon Sen. Hampir tiga kali telepon saya berakhir dengan suara operator yang bilang kalau orang dengan nomor itu nggak angkat telepon saya. Fix, dia masih tidur! Sambil mencoba mengatur emosi, saya telepon lagi dan kali ini diangkat!

Assalamu’alaikuuum, udah bangun?” tanya saya dengan menggunakan intonasi suara yang bersemangat meskipun terselip perasaan dongkol karena Sen susah banget bangunnya. 

Wa’alaikumsalam, udah...,” jawabnya dengan suara yang masih berat.

“Sen, shalat subuh dulu, ya...,” pinta saya sambil menerapkan salah satu materi komunikasi produktif kaidah 7-38-55, tapi yang 55-nya nggak bisa saya pratikkin karena ngobrolnya lewat telepon. Sebisa mungkin intonasi suara, saya bikin selembut mungkin tapi nggak palsu juga yaa, hahaha.

“Iya...,” jawab Sen lagi dan telepon pun ditutup.

sumber : pinterest
Selang lima belas menit berlalu, saya coba telepon Sen lagi. Tapi dia nggak angkat. Saya positive thinking kalau dia mungkin masih shalat atau melakukan kegiatan lainnya. Akhirnya, saya meninggalkan pesan lewat aplikasi Line.

Kurang lebih 30 menit kemudian, Sen bales chat saya.

Sen : Ga shalat ey
Sen : Udah mau berangkat, baring bentar, bobo deh
Sen : (pasang stiker Brown yang lagi sedih)

OMG! Sen ! Rasanya saya pengen meledak dan ngomel-ngomel sama Sen. Saya menghela napas sejenak, inget lagi dengan materi Komunikasi Produktif yang sedang saya praktikkan saat ini. Saya coba untuk memilih diksi dan kata-kata yang baik untuk menyampaikan pesan saya sesuai dengan kaidah 2C (Clear and Clarify).

Saya : Hmm, ga apa-apa besok kita coba lagi, ya... Mestinya aku nge-cek terus nih...
Saya : Besok shalat subuh tepat waktu, ya. Ga apa-apa, Allah-nya udah tahu kalau Sen lagi 

           belajar shalat.
Sen : Iya...


Oke, hari ini saya mungkin gagal ngajakin Sen untuk shalat. Tapi saya merasa kalau cara saya menyampaikan pesan kepada Sen sudah lebih baik dibandingkan yang udah-udah. Indikatornya? Saya mulai bisa mengatur ritme emosi saya. Bagaimana pun kesal atau dongkolnya saya karena yang diajakin nggak nyaut-nyaut atau bahkan nggak melaksanakan apa yang saya mau... Rupanya, saya mulai bisa mengendalikan apa yang sebaiknya saya lakukan bukan apa yang seharusnya saya inginkan.

#hari1 #gamelevel1 #tantangan10 hari
#komunikasiproduktif #kuliahbunsayiip

Bandung, 311017
Untuk kenyamanan tokoh yang terlibat dalam cerita ini, nama sengaja saya samarkan. Berhubung posting di blog bersifat publik. Terima Kasih.

You May Also Like

1 komentar

©