#Prosa: Bunga di Ladang
Orang-orang itu datang dan pergi. Datang, sempat singgah kemudian pergi lagi. Begitu seterusnya. Aku tidak pernah tahu mengapa orang-orang itu demikian. Nampaknya bukan wilayahku untuk bertanya hal itu. Aku baru menyadari bahwa tidak ada yang dapat membangkitkan apa yang telah mati.
Berbagai jenis bibit bunga sempat ditanam, namun hasilnya selalu sama. Bunga itu mati sebelum bertumbuh. Meski telah dipupuk dan disirami setiap hari. Aah, mungkin tempat bunga tersebut ditanam tak subur lagi?
Begitupun dengan bibit bunga yang dibawa orang-orang itu. Mereka hanya menaruh saja, tanpa pernah mencoba untuk memberikan pupuk ataupun menyiraminya. Aku hanya pemilik lading yang bisa menjaga bunga ketika mulai tumbuh. Untuk tumbuh dan berkembang menjadi indah adalah tugas mereka. Orang-orang itu tidak pernah tahu bahwa bunganya telah mati dengan sendirinya.
Terkecuali orang itu. Dia datang bukan untuk menanam. Dia hanya sekedar lewat sambil sesekali menyiram ladangku walau tak secara langsung. Mungkin dia iba dengan keadaan ladangku yang kering serta gersang. Orang itu sempat membuatku bersimpati dan ingin berterima kasih.
Namun ternyata … dia sama saja dengan orang-orang sebelumnya. Tidak ada yang sungguh-sungguh untuk merawat bunga di ladang. Yah, lading memang bukan tempat yang layak untuk bunga. Tidak ada yang sungh-sungguh ingin menanam bunga disana. Apakah bunga canti hanya pantas ada dalam pot mewah?
“Ladangku, bersabarlah … suatu hari nanti akan ada orang yang sungguh-sungguh merawat bunga ditanahmu,” bisikku enggan beralih menatapnya.
Perlahan, air langit mulai menetes dan merembes sampai ke dasar tanah. Tidak ada yang benar-benar tahu sejauh apa dasar tanah yang ada di ladangku. Sama halnya dengan tidak ada yang benar-benar tahu tentang kejadian orang itu suatu hari nanti …
Bandung, 211118
0 komentar