#Cerpen: 2020 : Kelud’s Eruption [Part 2]

by - 10:23 PM



Sebelumnya ...

... Aku harus bertemu lagi dengan cinta pertamaku yang sekarang menjelma menjadi seorang Profesor penjinak gunung. Sampai disini aku berhenti mengingat. Rasanya aku terlalu terobsesi dengannya sejak empat tahun yang lalu. Apa dia masih mengingat si lumba-lumba yang dia titipkan padaku? Aku tidak berani berharap.


***

Hari ke-7 di Kediri, seharusnya kami bisa segera pulang. Namun ternyata pada subuh tadi, Gunung Kelud menghembuskan abu panasnya. Ini diluar prediksi. Para peneliti pun tidak memperkirakan hal ini, karena kemarin sore aktivitasnya telah turun menjadi siaga. Sungguh, saat ini aku beserta orang orang yang ada di tempat kejadian segera mengamankan para warga yang belum meninggalkan rumahnya dalam radius 30-50 km dari Gunung Kelud.

Ada amarah yang memuncak ketika mengetahui hal tersebut. Setelah kewajiban sebagai seorang jurnalis aku laksanakan, aku langsung bergabung dengan para relawan yang sudah berada di lokasi untuk mengevakuasi warga. Aku melihatnya, ikut membantu para warga. Entah kenapa, ketika melihat Profesor itu amarahku memuncak lebih tinggi. Aku menghampirinya.

“Woii, apa yang kalian kerjakan selama ini ?!” aku mendorong sosok tinggi itu dengan cukup kuat sehingga membuatnya terkejut dan tersentak.

“Kami juga manusia biasa !” jawabnya agak keras, dan membuatku semakin geram.

“Hah ! Kalian memang makhluk so tahu !” aku berlalu dan segera bergabung dengan para relawan untuk mengevakuasi para warga yang belum sempat diungsikan. Dia memang telah berubah. Angkuh.

Peristiwa abu panas menewaskan setengah dari warga yang tidak sempat menyelamatkan diri. Abu panas ini bagaikan listrik yang mengalir dengan cepat melalui kabel-kabel menuju rumah penduduk. Para sukarelawan pun tidak mampu menyelamatkan seluruh nyawa yang saat itu masih terlelap dalam mimpinya. Sungguh, aku sangat terpukul. Ikut berduka dengan para warga.

***

Aku benar-benar kewalahan, mengerjakan dua aktivitas sekaligus : menyampaikan berita secara live dan menjadi relawan. Aku berharap pertahanan tubuhku tidak ambruk.

“Masih semangatkan ?!” tanya Bang Roy yang duduk disampingku ketika kami memiliki waktu istirahat sejenak.

“Harus !” jawabku yakin.

“Sepertinya sedang tidak stabil, ada apa?” Kami telah menjadi rekan kerja selama lima tahun lebih, dia pasti menyadari yang sedang terjadi padaku.

“Nanti aku cerita, Bang .. saat ini sedang ingin sendiri dulu” aku hanya melontarkan jawaban demikian. Masih ingin memendamnya sendiri.

Sulit bagiku untuk melewati masa-masa sekarang ini. Setelah batalnya acara pertunanganku dengan Profesor yang bernama Farhan, aku lebih menutup diri. Malu dan kecewa. Dua kata itu sudah cukup untuk menggambarkan betapa aku sangat terluka. Aku benar-benar terluka dan hancur. 

Meskipun itu terjadi empat tahun yang lalu, namun aku masih belum bisa mengikis rasa sakit ini. Umurku 28 tahun sekarang, dan harapan untuk menjadi seorang pengantin telah pupus. Aku tidak sanggup menemui Bunda, Bunda pasti akan menangis melihatku. Sejak saat itu, aku membenci kata ‘cinta’.

***

Aku tinggal bersama para warga di pengungsian. Berbaur dengan mereka yang sedang gelisah, perlahan aku mencoba jelaskan semua hal yang terjadi saat ini berdasarkan informasi yang diberikan dari Prof. Yoga, namun sepertinya itu tidak cukup untuk meyakinkan mereka. Aku menyerah untuk menjelaskan. 

Kemudian Profesor berkacamata itu datang ke tempatku, dan menjelaskan peristiwa yang sedang terjadi saat ini. Mereka nampak puas dan tidak lagi menuntut untuk kembali ke rumah-rumah mereka. Aku tidak habis pikir, kenapa orang-orang tidak percaya dengan perkataan wartawan? Padahal aku menyampaikan persis seperti yang dia sampaikan.

“Hei, tunggu ..” ucapnya ketika aku beranjak dari tempatku karena merasa tidak dibutuhkan lagi. Aku menoleh ke arahnya tanpa bertanya.

“Maaf tentang abu panas tadi, sungguh kami berusaha sebisa mungkin untuk mengetahui hal itu” dia menjelaskan peristiwa subuh tadi.

“Kenapa minta maaf padaku? Bukankah seharusnya minta maaf pada warga, terutama yang anggota keluarganya tewas ...” ya, kejadian subuh telah merenggut nyawa warga yang tidak sempat menyelamatkan diri. Dia diam, aku pun berlalu tanpa mengharapkan tanggapan apapun darinya.

***

Hujan abu masih belum reda juga. Tidak ada tanda-tanda gunung ini akan kembali stabil. Belum ada surat dari kantor yang mengharuskan kami untuk kembali. Tragis, ini pertama kalinya aku berada secara langsung menyaksikan kondisi mengenaskan akibat bencana alam karena selama ini kerjaku hanya di depan layar komputer mengedit setiap tayangan sebelum tampil di media. 

Aku masih dengan balutan jas hujan biru sambil menenteng sebuah microphone dan menghadap kearah kamera yang sedang on. Berkali-kali aku lakukan kegiatan yang sama, kali ini aku kembali harus berbincang dengan para peneliti itu, tepatnya Profesor Farhan yang mendapat mandat dari Profesor Yoga untuk menyampaikan temuan yang mereka dapat sejauh ini. Aku berusaha bersikap profesional dengan menekan perasaan yang selalu dag dig dug ketika berhadapan dengannya.

Selesai on air aku membersihkan wajahku yang hitam kelam oleh abu. Aku mengamati sekitarku dari tenda.

Congratulation!” tiba-tiba Profesor berkacamata itu menghampiriku.

“Untuk?” aku mencoba untuk tidak terlalu peduli dengannya.

“Telah jadi wartawan yang sukses.” ucapnya sambil tersenyum ke arahku.

“Oh, terimakasih, Prof ... ” aku menjawab dengan datar.

“Hei, ayolah ...” dia menyiku tanganku, “Jangan formal seperti ini, kita pernah sangat akrab di masa lalu. Sebuah keajaiban bisa dipertemukan kembali, bukan?” tanyanya mencoba berakrab ria denganku.

“Masa lalu? Terimakasih, tapi saya benar-benar lupa tentang masa lalu !” aku berlalu, meninggalkan dia yang masih terdiam ditempat semula. Rasa sakit itu kembali terusik, terkoyak lebih dalam. Aku ingin menangis tapi air mataku enggan meleleh. Tidak cukupkah dia muncul di masa laluku?

Ninda, maaf ... waktu itu saya benar benar terdesak ...”  aku menghentikan langkahku yang hendak berlalu. Aku ingin mendengarkan seluruh penjelasan yang masih samar sejak empat tahun lalu.

“Saya harus memilih antara kamu dan beasiswa ke Inggris. Saya ingin membanggakan seluruh keluarga saya dengan berangkat ke sana, saya memang egois.” dia terdiam cukup lama. 

“Lalu meninggalkanku begitu saja? Saya merasa seperti sampah.” amarahku mulai memuncak.

“Ayo, perbaiki masa lalu kita ...” ajaknya sambil melangkah mendekat ke arahku.

Aku hanya menoleh ke arahnya. Menatap tajam tepat pada kedua bola matanya. Kemudian berlalu tanpa berucap apapun padanya. “Luka itu jauh lebih besar, Prof...” bisikku dalam hati.

***
Bersambung ke sini, ya ... Langsung klik aja tulisan di bawah ini:

You May Also Like

0 komentar

©