#Cerpen: 2020 : Kelud’s Eruption [Part 2]
... Aku
harus bertemu lagi dengan cinta pertamaku yang sekarang menjelma menjadi
seorang Profesor penjinak gunung. Sampai disini aku berhenti mengingat. Rasanya
aku terlalu terobsesi dengannya sejak empat tahun yang lalu. Apa dia masih mengingat
si lumba-lumba yang dia titipkan padaku? Aku tidak berani berharap.
***
Hari
ke-7 di Kediri, seharusnya kami bisa segera pulang. Namun ternyata pada subuh
tadi, Gunung Kelud menghembuskan abu panasnya. Ini diluar prediksi. Para
peneliti pun tidak memperkirakan hal ini, karena kemarin sore aktivitasnya
telah turun menjadi siaga. Sungguh, saat ini aku beserta orang orang yang ada
di tempat kejadian segera mengamankan para warga yang belum meninggalkan
rumahnya dalam radius 30-50 km dari Gunung Kelud.
Ada
amarah yang memuncak ketika mengetahui hal tersebut. Setelah kewajiban sebagai seorang
jurnalis aku laksanakan, aku langsung bergabung dengan para relawan yang sudah
berada di lokasi untuk mengevakuasi warga. Aku melihatnya, ikut membantu para
warga. Entah kenapa, ketika melihat Profesor itu amarahku memuncak lebih
tinggi. Aku menghampirinya.
“Woii,
apa yang kalian kerjakan selama ini ?!” aku mendorong sosok tinggi itu dengan
cukup kuat sehingga membuatnya terkejut dan tersentak.
“Kami
juga manusia biasa !” jawabnya agak keras, dan membuatku semakin geram.
“Hah
! Kalian memang makhluk so tahu !” aku berlalu dan segera bergabung dengan para
relawan untuk mengevakuasi para warga yang belum sempat diungsikan. Dia memang
telah berubah. Angkuh.
Peristiwa
abu panas menewaskan setengah dari warga yang tidak sempat menyelamatkan diri. Abu
panas ini bagaikan listrik yang mengalir dengan cepat melalui kabel-kabel
menuju rumah penduduk. Para sukarelawan pun tidak mampu menyelamatkan seluruh
nyawa yang saat itu masih terlelap dalam mimpinya. Sungguh, aku sangat
terpukul. Ikut berduka dengan para warga.
***
Aku
benar-benar kewalahan, mengerjakan dua aktivitas sekaligus : menyampaikan
berita secara live dan menjadi relawan. Aku berharap pertahanan tubuhku tidak
ambruk.
“Masih
semangatkan ?!” tanya Bang Roy yang duduk disampingku ketika kami memiliki
waktu istirahat sejenak.
“Harus
!” jawabku yakin.
“Sepertinya
sedang tidak stabil, ada apa?” Kami telah menjadi rekan kerja selama lima tahun
lebih, dia pasti menyadari yang sedang terjadi padaku.
“Nanti
aku cerita, Bang .. saat ini sedang ingin sendiri dulu” aku hanya melontarkan
jawaban demikian. Masih ingin memendamnya sendiri.
Sulit
bagiku untuk melewati masa-masa sekarang ini. Setelah batalnya acara pertunanganku
dengan Profesor yang bernama Farhan,
aku lebih menutup diri. Malu dan kecewa. Dua kata itu sudah cukup untuk
menggambarkan betapa aku sangat terluka. Aku benar-benar terluka dan hancur.
Meskipun itu terjadi empat tahun yang lalu, namun aku masih belum bisa mengikis
rasa sakit ini. Umurku 28 tahun sekarang, dan harapan untuk menjadi seorang
pengantin telah pupus. Aku tidak sanggup menemui Bunda, Bunda pasti akan
menangis melihatku. Sejak saat itu, aku membenci kata ‘cinta’.
***
Aku
tinggal bersama para warga di pengungsian. Berbaur dengan mereka yang sedang
gelisah, perlahan aku mencoba jelaskan semua hal yang terjadi saat ini
berdasarkan informasi yang diberikan dari Prof. Yoga, namun sepertinya itu
tidak cukup untuk meyakinkan mereka. Aku menyerah untuk menjelaskan.
Kemudian
Profesor berkacamata itu datang ke tempatku, dan menjelaskan peristiwa yang
sedang terjadi saat ini. Mereka nampak puas dan tidak lagi menuntut untuk
kembali ke rumah-rumah mereka. Aku tidak habis pikir, kenapa orang-orang tidak
percaya dengan perkataan wartawan? Padahal aku menyampaikan persis seperti yang
dia sampaikan.
“Hei,
tunggu ..” ucapnya ketika aku beranjak dari tempatku karena merasa tidak
dibutuhkan lagi. Aku menoleh ke arahnya tanpa bertanya.
“Maaf
tentang abu panas tadi, sungguh kami berusaha sebisa mungkin untuk mengetahui
hal itu” dia menjelaskan peristiwa subuh tadi.
“Kenapa
minta maaf padaku? Bukankah seharusnya minta maaf pada warga, terutama yang
anggota keluarganya tewas ...” ya, kejadian subuh telah merenggut nyawa warga
yang tidak sempat menyelamatkan diri. Dia diam, aku pun berlalu tanpa mengharapkan
tanggapan apapun darinya.
***
Hujan
abu masih belum reda juga. Tidak ada tanda-tanda gunung ini akan kembali
stabil. Belum ada surat dari kantor yang mengharuskan kami untuk kembali.
Tragis, ini pertama kalinya aku berada secara langsung menyaksikan kondisi mengenaskan
akibat bencana alam karena selama ini kerjaku hanya di depan layar komputer
mengedit setiap tayangan sebelum tampil di media.
Aku masih dengan balutan jas
hujan biru sambil menenteng sebuah microphone dan menghadap kearah kamera yang
sedang on. Berkali-kali aku lakukan
kegiatan yang sama, kali ini aku kembali harus berbincang dengan para peneliti
itu, tepatnya Profesor Farhan
yang mendapat mandat dari Profesor Yoga untuk menyampaikan temuan yang mereka
dapat sejauh ini. Aku berusaha bersikap profesional dengan menekan perasaan
yang selalu dag dig dug ketika
berhadapan dengannya.
Selesai
on air aku membersihkan wajahku yang
hitam kelam oleh abu. Aku mengamati sekitarku dari tenda.
“Congratulation!” tiba-tiba Profesor berkacamata
itu menghampiriku.
“Untuk?”
aku mencoba untuk tidak terlalu peduli dengannya.
“Telah
jadi wartawan yang sukses.” ucapnya sambil tersenyum ke arahku.
“Oh,
terimakasih, Prof ... ” aku menjawab dengan datar.
“Hei,
ayolah ...” dia menyiku tanganku, “Jangan formal seperti ini, kita pernah
sangat akrab di masa lalu. Sebuah keajaiban bisa dipertemukan kembali, bukan?”
tanyanya mencoba berakrab ria denganku.
“Masa
lalu? Terimakasih, tapi saya benar-benar lupa tentang masa lalu !” aku berlalu,
meninggalkan dia yang masih terdiam ditempat semula. Rasa sakit itu kembali
terusik, terkoyak lebih dalam. Aku ingin menangis tapi air mataku enggan
meleleh. Tidak cukupkah dia muncul di masa laluku?
“Ninda, maaf ... waktu itu
saya benar benar terdesak ...” aku menghentikan
langkahku yang hendak berlalu. Aku ingin mendengarkan seluruh penjelasan yang
masih samar sejak empat tahun lalu.
“Saya
harus memilih antara kamu dan beasiswa ke Inggris. Saya ingin membanggakan
seluruh keluarga saya dengan berangkat ke sana, saya memang egois.” dia terdiam
cukup lama.
“Lalu
meninggalkanku begitu saja? Saya merasa seperti sampah.” amarahku mulai
memuncak.
“Ayo,
perbaiki masa lalu kita ...” ajaknya sambil melangkah mendekat ke arahku.
Aku
hanya menoleh ke arahnya. Menatap tajam tepat pada kedua bola matanya. Kemudian
berlalu tanpa berucap apapun padanya. “Luka
itu jauh lebih besar, Prof...” bisikku dalam hati.
***
Bersambung ke sini, ya ... Langsung klik aja tulisan di bawah ini:
0 komentar