#Cerpen: 2020 : Kelud’s Eruption [END]
“Ayo,
perbaiki masa lalu kita ...” ajaknya sambil melangkah mendekat ke arahku.
Aku
hanya menoleh ke arahnya. Menatap tajam tepat pada kedua bola matanya. Kemudian
berlalu tanpa berucap apapun padanya. “Luka
itu jauh lebih besar, Prof...” bisikku dalam hati.
***
Gunung
Kelud adalah bencana paling menakutkan saat ini. Tanda-tanda akan meletus
semakin terlihat. Kali ini warga tidak dianjurkan untuk pulang-pergi ke
rumahnya dengan sesuka hati. Aku juga semakin was-was walupun ada pada radius
yang cukup jauh dengan gunung, namun posisi ini belum bisa di bilang aman.
Apalagi jika gunung Kelud benar-benar mengeluarkan lahar panasnya.
“Ninda ..,” ucapnya ketika menghampiriku dengan nafas
yang tersenggal-senggal karena berlari. Aku hanya menoleh. “Sebaiknya kamu
segera pulang ... secepatnya, kalau bisa hari ini juga ..” dia menarik nafas
panjang.
“Kenapa?”
aku hanya mengerutkan kening.
“Laharnya
akan segera keluar” jawabnya singkat.
“Apa?!
Kenapa masih disini? Bukankah harus secepatnya mengevakuasi warga?” ada kengerian
yang menjalar dalam tubuhku.
“Saya
cuma mau kamu selamat, Nda
.. Tolonglah ...” dia menggenggam kedua tanganku.
“Kamu
sedang bercanda, Prof? Saya bukan sedang berwisata disini .. Sama sepertimu,
saya pun sedang bertugas. Dan saya bukan pengecut yang akan lari dari medan perang.”
aku melepaskan genggamannya yang cukup kuat. Dan bersiap untuk mengunjungi Prof.
Yoga mencari informasi tentang hal ini.
“Ninda ..” dia mencegahku dan
menatapku dengan tatapan putus asa. Entah apa arti tatapan itu. Aku merasakan
ketakutan yang terpancar darinya. Aku hanya berlalu tanpa berucap apapun,
persaaan empat tahun lalu kembali datang.
Samar-samar,
warna merah kuning orange itu mulai terlihat di puncak gunung. Hanya satu titik
memang, namun akan menimbulkan bencana yang luar biasa. Sejak sejam lalu
setelah berbincang dengan para peneliti dan relawan semuanya bersepakat untuk
mengevakuasi warga ke tempat yang lebih aman.
Suasana genting makin menjadi,
semuanya ingin menyelamatkan diri serta keluarganya masing-masing. Para ibu dan
ayah yang menggendong serta menuntun anak-anaknya, terlihat amat khawatir. Kakek
dan nenek dengan tertatih mencoba berlari sebisa mungkin. Tangisan dimana-mana.
Teriakan menggelegar mengimbangi suara tangisan.
Keadaan semakin tidak
terkendali karena para warga ini berebut ingin segera naik ke truk yang telah
disiapkan para relawan untuk mengevakuasi. Aku mencoba membantu mereka
sebisaku. Hawa panas terasa makin menyengat, mungkin lahar itu semakin
mendekat.
Sesaat,
aku melihat Profesor berkacamata itu berlari menuju arah yang berlawanan. Dia
pergi kemana? Beberapa kawannya termasuk Prof. Yoga seperti berteriak mencegahnya
untuk pergi.
Ditengah kegentingan yang semakin memuncak, sungguh tidak mungkin
teriakan mereka terdengar olehnya atau mungkin .. dia mengabaikannya? Lalu
mengapa dia terus berlari menuju gunung itu? Apa dia pun ingin menaklukan
lahar?! Apa yang dipikirkannya?!
Aku terus melihat kearahnya berlari mencoba
menembus abu hitam yang sedari tadi turun perlahan dan makin lebat.
“Inda .. !” Teriakan Bang Roy
yang terdengar samar mengusiikku.“Kamu pergi duluan ...!” ucapannya lebih
terdengar seperti perintah. Aku menggeleng.
“Cepat!”katanya
ditengah kegaduhan yang amat genting.
“Kita
berangkat sama-sama, pergi atau pulang pun harus sama-sama ... Aku tidak mau
pergi!” Bang Roy hanya merangkulku ditengah kegentingan yang semakin menjadi, dan
dia tetap menenteng kameranya untuk merekam seluruh kejadiaan seolah tidak
ingin terlewatkan walau sedetik. Aku terdiam cukup lama, menyaksikkan setiap
peristiwa yang semakin genting.
***
Sisa-sisa
abu ledakan gunung itu masih menumpuk di setiap sudut permukaan jalan. Hujan
abu tidak lagi turun. Lahar panas yang kemarin meleleh meninggalkan jejak
seperti aliran sungai yang tidak teratur. Aku mengamati keadaan yang
porak-poranda dan berantakan. Keadaan kemarin sore sangat mencekam. Tidak ada
yang indah lagi dari Gunung Kelud maupun tempat disekitarnya.
Wajah-wajah
ketakutan dan trauma tergambar jelas dari seluruh pengungsi terutama anak-anak
yang sebagian besar kehilangan bapak-ibunya karena peristiwa hebat kemarin.
Mereka terdiam sambil memeluk kedua kakinya, ada pula yang tiduran sambil
berbalut selimut menutupi setengah wajahnya. Keadaan ini membuatku sangat
miris.
Ketika
berpapasan dengan Prof. Yoga, aku teringat pada Profesor yang berlari melawan
arah itu. Dia sama sekali tidak terlihat sejak subuh tadi di tenda pengungsian.
“Mana
Profesor Farhan?”tanyaku
mencoba mencari jawaban dari kedua mata Prof Yoga.
Dia
terdiam sejenak dan menggeleng. “Prof, dia baik-baik saja kan?” tiba-tiba rasa
cemas dan khawatir menjalar di sekujur tubuhku.
“Dia
kembali ke lereng gunung untuk membawa alat-alat hasil karyanya yang terpasang
disana alat itu digunakan untuk memprediksi keadaan gunung yang akan meletus.
Kami sudah mencegahnya, namun dia ternyata lebih mencintai alat ciptaan yang
belum sempat diduplikasi itu ... Dia lebih mencintai benda itu daripada dirinya
sendiri ... Dia tidak seharusnya melakukan itu ...” Prof. Yoga hanya tertunduk
lemas dengan pakaiaannya yang sudah tidak karuan.
Seluruh
tubuhku melemas tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi selanjutnya pada
dia. Bagaimana keadaan dia? Aku bagai onggokan daging tanpa nyawa.
***
“Setelah
terjadi hujan abu selama tujuh hari berturut-turut, tepat di hari kedelapan
Gunung Kelud akhirnya mengeluarkan lahar panas yang telah terpendam sejak 30
tahun yang lalu. Menurut para ahli, meletusnya Gunung Kelud pada tahun ini
merupakan ledakan yang paling besar setelah pada abad ke-15 serta 19 menewaskan
hampir 100.000-200.000 jiwa. Berkat penelitian dan prediksi dari para peneliti,
korban tewas akibat Gunung Kelud ini dapat diminimalisir.” aku terdiam sejenak,
berusaha melanjutkan berita yang aku sampaikan melalui layar kamera Bang Roy.
“Pagi
tadi, sekitar pukul 06.00 Tim SARS menemukan mayat manusia yang telah hangus
terbakar. Polisi memprediksi bahwa mayat tersebut terbakar karena hawa yang
sangat panas dari lahar yang dikeluarkan Gunung ... Sejauh ini, melihat dari
ciri-ciri mayat tersebut dapat diidentifikasikan bernama ...” aku sungguh tidak
mampu menyebutkan namanya,
“Profesor
Far…han, salah seorang anggota dari tim peneliti
Gunung Kelud. Demikian laporan kami---Ninda
Nurani, Roy Purwa—Kediri,
Jawa Timur.” Aliran hangat meleleh seketika di kedua pipiku, yang lebih menguatkan
prediksi itu adalah adanya benda yang dimaksudkan Profesor Yoga sekitar satu
meter dari mayat tersebut. Tubuhku semakin melemas.
Is he death?
Aku hanya terpaku ditempatku. Melayang ... kemudian gelap.
***
[TAMAT]
Cerpen berjudul 2020: Kelud's Eruption ini hanya fiksi semata. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, atau hal-hal lainnya hanya kebetulan. Selengkapnya, kamu tinggal klik tulisan di bawah ini untuk membaca. Happy reading~
0 komentar