#Cerpen: 2020 : Kelud’s Eruption [END]

by - 10:34 PM



Sebelumnya ...

“Ayo, perbaiki masa lalu kita ...” ajaknya sambil melangkah mendekat ke arahku.

Aku hanya menoleh ke arahnya. Menatap tajam tepat pada kedua bola matanya. Kemudian berlalu tanpa berucap apapun padanya. “Luka itu jauh lebih besar, Prof...” bisikku dalam hati.


***

Gunung Kelud adalah bencana paling menakutkan saat ini. Tanda-tanda akan meletus semakin terlihat. Kali ini warga tidak dianjurkan untuk pulang-pergi ke rumahnya dengan sesuka hati. Aku juga semakin was-was walupun ada pada radius yang cukup jauh dengan gunung, namun posisi ini belum bisa di bilang aman. Apalagi jika gunung Kelud benar-benar mengeluarkan lahar panasnya.

Ninda ..,”  ucapnya ketika menghampiriku dengan nafas yang tersenggal-senggal karena berlari. Aku hanya menoleh. “Sebaiknya kamu segera pulang ... secepatnya, kalau bisa hari ini juga ..” dia menarik nafas panjang.

“Kenapa?” aku hanya mengerutkan kening.

“Laharnya akan segera keluar” jawabnya singkat.

“Apa?! Kenapa masih disini? Bukankah harus secepatnya mengevakuasi warga?” ada kengerian yang menjalar dalam tubuhku.

“Saya cuma mau kamu selamat, Nda .. Tolonglah ...” dia menggenggam kedua tanganku.

“Kamu sedang bercanda, Prof? Saya bukan sedang berwisata disini .. Sama sepertimu, saya pun sedang bertugas. Dan saya bukan pengecut yang akan lari dari medan perang.” aku melepaskan genggamannya yang cukup kuat. Dan bersiap untuk mengunjungi Prof. Yoga mencari informasi  tentang hal ini.

Ninda ..” dia mencegahku dan menatapku dengan tatapan putus asa. Entah apa arti tatapan itu. Aku merasakan ketakutan yang terpancar darinya. Aku hanya berlalu tanpa berucap apapun, persaaan empat tahun lalu kembali datang.

Samar-samar, warna merah kuning orange itu mulai terlihat di puncak gunung. Hanya satu titik memang, namun akan menimbulkan bencana yang luar biasa. Sejak sejam lalu setelah berbincang dengan para peneliti dan relawan semuanya bersepakat untuk mengevakuasi warga ke tempat yang lebih aman. 

Suasana genting makin menjadi, semuanya ingin menyelamatkan diri serta keluarganya masing-masing. Para ibu dan ayah yang menggendong serta menuntun anak-anaknya, terlihat amat khawatir. Kakek dan nenek dengan tertatih mencoba berlari sebisa mungkin. Tangisan dimana-mana. Teriakan menggelegar mengimbangi suara tangisan. 

Keadaan semakin tidak terkendali karena para warga ini berebut ingin segera naik ke truk yang telah disiapkan para relawan untuk mengevakuasi. Aku mencoba membantu mereka sebisaku. Hawa panas terasa makin menyengat, mungkin lahar itu semakin mendekat.  

Sesaat, aku melihat Profesor berkacamata itu berlari menuju arah yang berlawanan. Dia pergi kemana? Beberapa kawannya termasuk Prof. Yoga seperti berteriak mencegahnya untuk pergi. 

Ditengah kegentingan yang semakin memuncak, sungguh tidak mungkin teriakan mereka terdengar olehnya atau mungkin .. dia mengabaikannya? Lalu mengapa dia terus berlari menuju gunung itu? Apa dia pun ingin menaklukan lahar?! Apa yang dipikirkannya?! 

Aku terus melihat kearahnya berlari mencoba menembus abu hitam yang sedari tadi turun perlahan dan makin lebat.  

Inda .. !” Teriakan Bang Roy yang terdengar samar mengusiikku.“Kamu pergi duluan ...!” ucapannya lebih terdengar seperti perintah. Aku menggeleng.

“Cepat!”katanya ditengah kegaduhan yang amat genting.

“Kita berangkat sama-sama, pergi atau pulang pun harus sama-sama ... Aku tidak mau pergi!” Bang Roy hanya merangkulku ditengah kegentingan yang semakin menjadi, dan dia tetap menenteng kameranya untuk merekam seluruh kejadiaan seolah tidak ingin terlewatkan walau sedetik. Aku terdiam cukup lama, menyaksikkan setiap peristiwa yang semakin genting.

***

Sisa-sisa abu ledakan gunung itu masih menumpuk di setiap sudut permukaan jalan. Hujan abu tidak lagi turun. Lahar panas yang kemarin meleleh meninggalkan jejak seperti aliran sungai yang tidak teratur. Aku mengamati keadaan yang porak-poranda dan berantakan. Keadaan kemarin sore sangat mencekam. Tidak ada yang indah lagi dari Gunung Kelud maupun tempat disekitarnya. 

Wajah-wajah ketakutan dan trauma tergambar jelas dari seluruh pengungsi terutama anak-anak yang sebagian besar kehilangan bapak-ibunya karena peristiwa hebat kemarin. Mereka terdiam sambil memeluk kedua kakinya, ada pula yang tiduran sambil berbalut selimut menutupi setengah wajahnya. Keadaan ini membuatku sangat miris.

Ketika berpapasan dengan Prof. Yoga, aku teringat pada Profesor yang berlari melawan arah itu. Dia sama sekali tidak terlihat sejak subuh tadi di tenda pengungsian.

“Mana Profesor Farhan?”tanyaku mencoba mencari jawaban dari kedua mata Prof Yoga. 

Dia terdiam sejenak dan menggeleng. “Prof, dia baik-baik saja kan?” tiba-tiba rasa cemas dan khawatir menjalar di sekujur tubuhku.

“Dia kembali ke lereng gunung untuk membawa alat-alat hasil karyanya yang terpasang disana alat itu digunakan untuk  memprediksi keadaan gunung yang akan meletus. Kami sudah mencegahnya, namun dia ternyata lebih mencintai alat ciptaan yang belum sempat diduplikasi itu ... Dia lebih mencintai benda itu daripada dirinya sendiri ... Dia tidak seharusnya melakukan itu ...” Prof. Yoga hanya tertunduk lemas dengan pakaiaannya yang sudah tidak karuan.

Seluruh tubuhku melemas tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi selanjutnya pada dia. Bagaimana keadaan dia? Aku bagai onggokan daging tanpa nyawa.

***

“Setelah terjadi hujan abu selama tujuh hari berturut-turut, tepat di hari kedelapan Gunung Kelud akhirnya mengeluarkan lahar panas yang telah terpendam sejak 30 tahun yang lalu. Menurut para ahli, meletusnya Gunung Kelud pada tahun ini merupakan ledakan yang paling besar setelah pada abad ke-15 serta 19 menewaskan hampir 100.000-200.000 jiwa. Berkat penelitian dan prediksi dari para peneliti, korban tewas akibat Gunung Kelud ini dapat diminimalisir.” aku terdiam sejenak, berusaha melanjutkan berita yang aku sampaikan melalui layar kamera Bang Roy.

“Pagi tadi, sekitar pukul 06.00 Tim SARS menemukan mayat manusia yang telah hangus terbakar. Polisi memprediksi bahwa mayat tersebut terbakar karena hawa yang sangat panas dari lahar yang dikeluarkan Gunung ... Sejauh ini, melihat dari ciri-ciri mayat tersebut dapat diidentifikasikan bernama ...” aku sungguh tidak mampu menyebutkan namanya, 

“Profesor Far…han, salah seorang anggota dari tim peneliti Gunung Kelud. Demikian laporan kami---Ninda Nurani, Roy Purwa—Kediri, Jawa Timur.” Aliran hangat meleleh seketika di kedua pipiku, yang lebih menguatkan prediksi itu adalah adanya benda yang dimaksudkan Profesor Yoga sekitar satu meter dari mayat tersebut. Tubuhku semakin melemas.

Is he death? Aku hanya terpaku ditempatku. Melayang ... kemudian gelap.

***
[TAMAT] 

Cerpen berjudul 2020: Kelud's Eruption ini hanya fiksi semata. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, atau hal-hal lainnya hanya kebetulan. Selengkapnya, kamu tinggal klik tulisan di bawah ini untuk membaca. Happy reading~



You May Also Like

0 komentar

©