Menciptakan Petualang Tangguh melalui Navigator Andal
Oleh : Agina Puspanurani
Anak adalah petualang dalam dunia antah-berantah. Sebagai seorang petualang adalah tugasnya untuk bertahan dan berkembang di dunia yang mulanya tidak mereka kenal. Begitu pun dengan persepsinya tentang dunia, tergantung bagaimana orang dewasa (terdekatnya) yang mengenalkan. Ia bisa saja tumbuh sebagai seorang petualang tangguh ketika navigatornya mampu mengarahkan sang petualang. Pun sebaliknya ia bisa jadi tumbuh sebagai seorang petualang melempem ketika navigatornya hanya mengarahkan seperlunya saja.
Anak adalah makhluk paling jujur yang berperan mengikuti rasanya. Justru orang dewasalah yang sering kali naïf dan penuh sandiwara. Pada akhirnya membuat anak harus terbelenggu dalam rasa tidak percaya bahkan terhadap orang dewasa terdekatnya. Disadari atau tidak pelanggaran hak terhadap anak tidak saja terjadi di jalanan. Bahkan di rumah yang nyaman, atau mewah pun sering kali hak anak masih saja tidak terpenuhi.
Berbicara tentang pelanggaran terhadap hak anak memang tidak akan habisnya, banyak sekali faktor yang menjadikan seorang anak terlantar walaupun orang tuanya ada di dekat mereka. Inilah yang seringkali tidak disadari oleh para orang tua. Orang tua merasa telah memenuhi hak anaknya dengan membelikan apapun keinginan anak, menyediakan gadget canggih dan menyekolahkan di tempat bagus. Namun bukan itu sesungguhnya yang menjadi dambaan anak-anak. Mungkin iya, mereka bahagia. Tentu mereka senang dengan semua fasilitas yang disediakan orang tuanya. Tapi hati mereka sepi. Kering dan layu.
Sumber gambar : www.google.com |
Saya cukup lama mengamati beberapa murid yang selalu memisahkan diri dari temannya. Ia lebih memilih untuk menatap keluar jendela daripada berkegiatan bersama teman sebayanya. Anak ini memang berbeda dari teman sekelasnya, cenderung bersikap semaunya, egois dan acuh. Sesekali ia mau untuk diajak belajar, namun seringkali ia hanya melihat temannya berkegiatan dan bermain sendiri. Setelah saya selidiki, ternyata permasalahan utama ada di dalam rumahnya.
Anak ini tidak sepenuhnya memperoleh hak yang seharusnya dia dapatkan dari kedua orang tuanya. Ayah dan ibunya berada di tempat berbeda karena alasan pekerjaan. Begitupun keahadiran seorang ibu tidak lantas membuatnya menjelma menjadi pribadi yang ceria. Sang ibu yang juga bekerja dan pulang larut membuat anak ini tidak memiliki kesempatan untuk sekedar berinteraksi bahkan mendapat pelukan erat.
Anak sejatinya memerlukan kehadiran dari kedua orang tuanya, bukan hanya sekadar hadir namun membuat mereka nyaman. Pelukan dan sanjungan dari kedua orang tua menjadikan seorang anak tumbuh sebagai pribadi yang ceria dan hangat. Dia akan bebas berekspresi dan mengekspresikan perasaannya dengan terbuka. Anak-anak dengan kasus seperti ini tidak berbeda dengan anak jalanan yang jelas-jelas haknya telah terenggut. Namun kurang lebih posisi mereka sama, sebagai anak yang kehilangan haknya.
Tidak arif rasanya jika orang tua hanya memikirkan bagaimana finansial mereka terpenuhi dan menyerahkan kegiatan kognitif di sekolah saja. Padahal kegiatan belajar esensinya di mulai dari rumah, terutama orang tua sebagai guru pertama agar anak memiliki karakter yang hangat dan ceria. Perlu ada edukasi mendalam bagi para orang tua yang selalu mementingan finansial mereka daripada kehadirannya bersama anak.
Anak bukanlah mainan yang bisa di-setting sesuka hati, atau bahkan bukan robot yang bisa diprogram sesuai keinginan sang orang tua. Jauh dari itu, anak adalah seorang petualang yang memerlukan bimbingan dalam setiap perjalanan mereka. Anak membutuhkan orang tuanya sebagai navigator kehidupan mereka. Jika navitagornya saja tidak ada, bagaimana jadinya perjalanan mereka? Mungkin akan tersesat dalam dunia hitam yang selalu jadi ancaman.
Persoalan terkait anak yang ada di Indonesia, mulai menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat. Namun cara menanggulangi permasalahan tersebut masih belum memadai. Buktinya korban pelecehan seksual, pelaku pelecehan seksual sampai ketergantungan obat-obat terlarang kian marak menjamur di penjuru Indonesia. Tentu saja, ini bukan sepenuhnya kesalahan anak, bukan juga lingkungan. Namun marilah kita sebagai orang dewasa sebagai orang tua dari anak-anak kita, mulai berinstropeksi diri, mulai berbenah diri dan mulai mengubah mindset bahwa anak adalah aset berharga melebihi pundi-pundi rupiah bukan robot yang dapat diprogram sesuka hati.
Anak perlu disentuh hatinya dengan kasih sayang, baik itu secara verbal maupun non-verbal. Mulai memberikan kesempatan bagi mereka untuk bebas bercerita, bebas mengekspresikan perasaannya dan selalu menceritakan dongeng sebelum tidur. Selain itu, anak pun perlu disentuh fisiknya dengan pelukan dan genggaman. Banyak melakukan kegiatan bersama yang melibatkan orang tua dan anak menjadi momen berharga yang akan selalu dikenang oleh sang anak. Mungkin terdengar sepele, namun bagi seorang anak momen bahagia ini adalah proses yang anak membentuknya menjadi seorang petualang yang tangguh, hangat dan ceria. []
Tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog "Catatan Anak Bangsa" yang diselenggarakan SOS CHILDREN'S VILLAGES Indonesia
0 komentar