Dear Teh Fitri...

by - 6:59 PM

Surat terbuka ini telah lama aku buat.  Hanya saja ragu untuk mem-publish-nya di blog karena mungkin tidak begitu penting. Tapi aku menyadari bahwa ketika besok atau lusa bertemu denganmu di tempat itu, mulutku akan kembali kelu untuk berucap walaupun satu kata "maaf". Kemudian, anggaplah ini sebagai curahan hatiku yang tak mampu kusampaikan secara langsung. Semoga berkenan untuk membacanya sampai akhir ....

Entahlah, ketika rasanya sudah amat sesak dan akhirnya memutuskan untuk mengirimkan amplop putih itu... Orang pertama yang pasti akan kukecewakan adalah dirimu, Bu Fitri atau Teh Fitri. Kemudian selanjutnya adalah Pa Rizal atau Ubi. Yaa.. kalian sahabat sekaligus rekan kerja yang amat luar biasa. Kuakui itu.

Ah... Tak perlulah aku membahas apa yang membuatku tetap memilih mengirimkan amplop putih itu... Kalian pun pasti lebih peka tentang hal ini. Kemudian -anggaplah- aku memang tak cukup hebat untuk beriringan bersama kalian atau mereka, karena nyatanya dinding-dinding itu terlalu menghimpit hingga membuatku amat sesak.

Kemudian... Anggaplah aku memang pengecut karena tak mampu mendaki apa yang mereka bilang sebuah 'gunung'.  Lalu kalian tetap memilih untuk berjuang bersama kemudian aku tidak. Aah... apapun yang ada dalam benak kalian biarlah itu menjadi sisa-sisa kenangan -yang entah- manis atau pahit..

Namun Teh Fitri... Maaf sebesar besarnyaa karena aku tak dapat menepati janjiku... Maaf karena pada akhirnya aku mengecewakan atau mungkin membuatmu semakin terluka... Aku cukup tahu, kamu adalah seseorang yang amat perasa sama halnya sepertiku. Aah... Hal terberat bagiku adalah ketika harus meninggalkanmu juga teman teman yang telah berbagi lelah, canda, tawa dan tangis bersama.

Namun Teh Fitri... Sejak saat amplop itu kukirimkan pada mereka.. Seketika suasana tempat itu pun tak lagi menjanjikan kenyamanan. Entahlaah... Kenyamanannya semakin memudar dan tak lagi membahagiakan. Aku semakin merasa sesak, aku tak bahagia.

Teh Fitri... Kemudian haruskah aku tetap bertahan di tempat itu dengan keadaan yang amat sesak? Tidak, aku tak ingin membuat diriku semakin sesak sampai kehabisan nafas di tempat itu. Aku ingin menggapai mimpiku tanpa terhimpit dinding-dinding itu.

Teh Fitri... Semoga dirimu cukup memahami pilihanku. Bukankah bertahan ataupun berhenti adalah sebuah pilihan? Ketika pada akhirnya aku memilih untuk berhenti bukan berarti aku menyerah atau lari. Karena bagiku, berhenti memiliki arti  bahwa aku tak dapat lagi beriringan denganmu ataupun mereka. Karena bagiku, berhenti adalah sebuah kosa kata untuk keadaan yang tak dapat diubah, dibantah maupun digugat lagi.

Masihkah harus dipaksakan untuk berada di jalan yang sama ketika aku ataupun mereka merasa tersakiti? Aku rasa, akan lebih baik jika salah satunya berhenti...

-Malam yang teramat muram, 221015
Terimakasih untuk Teh Fitri karena telah membaca surat terbuka ini sampai akhir. Terimakasih untuk setiap rangkulan hangat ketika lelah datang tiada henti.

You May Also Like

0 komentar

©