#Cerpen: Akumulasi Rasa
Langit pagi ini masih mendung. Mendung tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Lain halnya dengan kemarin, bulir-bulir air turun dari langit dengan irama yang konstan. Tidak deras, bukan juga gerimis. Alunannya seolah selaras dengan naik turunya perasaan yang sedang mendera.
Ah, udara pagi ini masih terasa sejuk... Tapi anginnya mendadak terasa menggigil, padahal piyama tosca ini sudah menutupi hampir seluruh bagian tubuh kecuali telapak tangan, tepak kaki, leher serta bagian kepala. Tapi tetap saja, masih terasa menggigil.
Jika mampu menerjemahkannya, mungkin langit hari ini terasa sendu. Sendu rasanya kosa kata yang kurang enak terdengar, tapi langit tidak mau tahu. Hari ini ia sedang sendu. Apakah ada hal baik dari rasa sendu? Mungkin, ada...
Setengah cangkir kopi berhasil ditenguk. Rasanya getir. Getir yang tak biasa. Seharusnya semua orang sudah tahu, kopi hitam memang getir dengan sedikit sensasi asam. Cairan hitam itu begitu kuat menempel di aliran tenggorokan sampai-sampai segelas air mineral seolah tidak cukup untuk menghapus getirnya.
Sudahlah, nanti juga hilang rasanya. Nanti juga akan bercampur dengan rasa lain dari berbagai makanan yang melewati tenggorokan. Jika tidak suka dengan sensasinya kenapa dibiarkan saja? Bukan, bukan tidak suka. Secangkir kopi itu telah menjadi candu, candu yang selalu dibutuhkan setiap pagi dan rasanya tak berdaya jika tidak ada kopi.
Hei, matahari pagi ini mulai menyusup ke celah-celah jendela. Wujudnya masih malu-malu diantara awan-awan mendung itu. Sekalipun akumulasi dari rasa itu begitu menyesakkan, bolehkah sejenak berlari? Benar, itu hanya dilakukan oleh seorang pengecut.
Ah, Tuhan, aku hanya takut. Takut tentang kenyataan esok dan esoknya lagi.
Suatu pagi di awal tahun, 040117
0 komentar