#GameLevel1 : Mengurai Emosi dengan Bicara Hati ke Hati (Day 14-Bunsay Pranikah Batch #3)

by - 7:04 AM

Senin sore menjadi kegiatan rutin saya untuk mengajar anak-anak Madrasah Diniyah. Ini tahun kedua saya kembali mengajar di sini. Sebelumnya pada tahun 2007-2010 saya pun pernah mengajar juga, saat itu statusnya sedang belajar mengajar. Nah, saya kembali lagi ke tempat ini pada tahun 2016 pasca saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan lama.

Dua tahun berjalan, selalu menyenangkan, ya... Kecuali bagian harus bikin soal UAS, hahaha. Soalnya saya tuh tipe guru yang rada-rada ribet. Saya selalu ingin menyajikan soal yang abnormal dalam artinya kertas UAS khusus untuk pelajaran saya, saya bikin rada beda nggak cuma ada pilihan ganda dan essay saja. Saya memasukan soal TTS atau soal bergambar—yang materinya berkaitan dengan pelajaran di dalam UAS.

Oke, mari tinggalkan sejenak tentang keribetan saya bebikinan soal UAS. Saya mau cerita tentang kejadian sore ini yang cukup menegangkan. Fuiiihhh banget buat saya.

Pada mulanya kelas berjalan kondusif, terutama saat anak-anak menulis dan mengerjakan soal tajwid. Tentunya, saya masih bisa mengontrol mereka, ya... Namun saat kesembilan belas siswa saya ini mulai setor hafalan Al-Qurannya, keributan mulai terjadi. Saya terlalu fokus untuk mengamati anak-anak yang setor hafalan sementara anak-anak yang sudah selesai hafalan saya perbolehkan untuk bermain dulu di luar. Di sanalah kejadian itu meledak.

Dari meja depan saya lihat Krisna dan Chaca sedang berseteru, entah apa yang mereka perdebatkan. Saya sesekali mengamati mereka sambil tetap mendengarkan hafalan siswa lainnya. Namun perseteruan semakin memanas, terutama saat Krisna mulai melontarkan kata-kata kasar. Saya yang risih dengan hal itu langsung menghampiri mereka.

Student. Sumber : pinterest.com
“Eh, ada apa ini, Teh?” tanya saya berusaha untuk nggak terbawa emosi.

“Itu, Buuu... Si Chaca-nya kurang aja!” jawab Krisna dengan mata yang menyala penuh emosi.
“Kurang aja gimana?” tanya saya lagi nggak ngerti.

“Nyebarin foto saya ke orang-orang terus dia ketawa-ketawa. Kan kurang ajar, Bu!” Adu Krisna.

“Iya, seperti itu, Cha?” tanya saya ke Chaca.

“Iya, aku foto Krisna tapi nggak jadi disebarin,” jawab Chaca.

“Ah, bohong! Kenapa pake ketawa-tawa!” Krisna masih penuh amarah.

“Apa, ih, enggak da....,” kata Chaca.

“Oke, silakan selesaikan, ya... Ibu tahu kalian teh bukan anak TK lagi yang harus marah-marah. Sok selesaikan dengan baik, terus saling minta maaf,” saran saya.

Tampaknya cara saya melerai masih saja kurang tepat, karena nggak berapa lama tiba-tiba aja Chaca masuk ke kelas sambil nangis dan entah gimana ceritanya Ibunya Chaca dateng nyusul. Oalaah.

Suasana kelas crowded banget saat itu. Akhirnya, saya memutuskan untuk menghentikan setoran hafalan dan segera menutup kelas. Ini udah nggak kondusif. Ibunya Chaca yang heran ngeliat anaknya nangis mulai nanya-nanya ke Chaca. Terus, saya minta ke Ibunya Chaca untuk tunggu dulu sampai kelas bubar.

Untuk mengurai emosi yang makin panas di dalam ruangan, sebelum pulang saya sengaja tanya-jawab dulu sama anak-anak di sana. Saya biarkan Chaca menangis sampai puas, sementara nunggu anak-anak yang lain satu per satu menjawab pertanyaan saya dan pulang.

Suasana kelas (sebelum tragedi) yang masih kondusif saat anak-anak menulis
Sayangnya, Chaca pulang duluan saat itu karena Ibunya bener-bener nungguin dan diem di sana jadi nggak sempat menyelesaikan masalah dengan Krisna. Jadi saya cuma tanya-tanya langsung ke Krisna.

“Krisna, Chaca kenapa nangis?” tanya saya langsung ke Krisna karena pasti ada hubungannya.

“Dianya nyebelin, sih, Bu... Terus saya emosi dan pukul tangannya,” jawab Krisna masih ada emosi yang meletup.

“Oh, gitu... Ibu ngerti Krisna  marah ke Chaca tapi Krisna tahu kan kalau dipukul itu sakit?” tanya saya dengan mengaplikasikan kaidah 7-38-55 dan berempati kepada Krisna, sesekali saya usap bahunya Krisna.

“Iya, tahu, Bu... Saya tahu itu salah,” jawab Krisna yang mulai bisa mengontrol emosinya.

“Krisna mau, kan, besok minta maaf ke Chaca karena udah mukul Chaca?” tanya saya lagi.
“Mau, Bu...,” jawab Krisna. 

“Nah, gitu, hebat! Kalau salah harus berani untuk mengakui dan minta maaf, ya,” sahut saya menepuk bahu Krisna.

“Tapi gimana kalau Chaca-nya nggak mau maafin saya?” tanyanya lagi.

“Nggak apa-apa yang terpenting Krisna udah minta maaf ke Chaca, kalau nantinya Chaca nggak mau maafin itu mah haknya Chaca. Padahal kan, Allah juga Maha Pemberi Maaf kepada makhluk-Nya, ya... Masa sesama manusia nggak mau saling memaafkan,” ujar saya kemudian memberikan pertanyaan terakhir untuk semua siswa yang masih ada di kelas itu.

Entah gimana, saya masih merasa belum maksimal dalam mengatasi ketegangan di kelas seperti tadi. Tapi di sisi lain saya merasa sudah berhasil untuk mengambil alih kembali kelas yang tadinya begitu panas. Saya masih perlu banyak belajar nih sebagai seorang pengajar.



#hari14 #gamelevel1 #tantangan10 hari
#komunikasiproduktif #kuliahbunsayiip



 Bandung, 131117

Sumber bacaan :
Materi 1 Komunikasi Produktif-Kelas Bunda Sayang Batch #3

You May Also Like

0 komentar

©