#GameLevel3 : Belajar Toleransi Dari Bule (Day 5-Bunsay Pranikah Batch #3)
Upaya untuk meningkatkan kecerdasan spiritual saya lakukan dengan banyak berdiskusi bersama Sen. Kenapa nggak temen yang lain? Karena nggak ada yang pemikirannya se-super Sen ! Dia anaknya asyik, menyenangkan, dan nggak sungkan saat berbagi pengetahuan yang telah dia pahami. Terutama, sih, dia super-manusia-jujur dan open minded banget.
Hari ini saya sempat meminta pendapatnya tentang sebuah vlog di Youtube dengan judul Alasan Bule Tinggal Serumah Sebelum Menikah | Q&A yang dibuat oleh seorang pelajar Indonesia bernama Syarif Zapata yang sedang menempuh pendidikan di Swiss. Tapi, sebenarnya buka topik yang sesuai judul vlognya yang mau saya bahas di sini. *Btw, kalau mau tahu bisa langsung klik aja judul vlognya, nanti otomatis terhubung ke youtube
Di dalam vlog yang berdurasi 15 menit ini, Syarif pun mengajukan beberapa pertanyaan terkait agama dan tanggapan mereka tentang orang Islam. Topik inilah yang sempat saya diskusikan bersama Sen. Narasumbernya 5 orang bule yang berusia 20-25 tahun, dua orang laki-laki dan tiga orang perempuan.
Si Bule ditanya sama vlogger-nya, seperti ini : "Apakah kamu sebagai pemberi kerja, akan mentolerasi seandainya pegawai kamu setiap sholat minta izin?" |
"Gimana?" tanya saya setelah mengirimkan link vlog tersebut ke LINE-nya Sen.
"Gimana apaan? Kalau nanya yang jelas, deh," komen Sen. Dia sensi amaaaat!
"Gimana tanggapan kamu setelah nonton vlog itu," jawab saya. "Kan bule-bulenya pada ditanya tentang agama mereka, adakah kehidupan setelah mati, dan tanggapan mereka kalau mempekerjakan seorang wanita berjilbab," lanjut saya.
"Hmm...," suara Sen lagi mikir. "Yang jelas, sih, rasa toleran mereka tinggi kali, ya... Rata-rata mereka nggak ada masalah jika seandainya harus mempekerjakan perempuan berjilbab menjadi pelayan restoran dengan kenyataan harus sholat 5x dalam sehari," ujar Sen.
"Terus, kalau yang narasumber terakhir yang cewek berkacamata, dia cukup toleran juga, sih, lebih melihatnya asas keseimbangan alias fair tapi tetep nggak mengurangi rasa toleransinya. Keren, sih, bule-bule tuh, toleran banget sama orang Islam," katanya.
Ini jawaban Aa Bule |
Ini lanjutannya |
"Iya, aku pun setuju dengan pendapatmu," sahut saya. "Mestinya orang yang di Indonesia pun bisa belajar tentang toleransi beragama ini. Yaa, minimal nggak bikin keributan terus bawa-bawa nama Islam sampai rusak fasilitas umum," protes saya. Omongan saya ini maksudnya inget lagi sama kasus Ahok yang beberapa orang Islamnya pada rusuh sampe ngerusak fasilitas umum dalam rangka demonstrasi supaya Ahok segera di proses.
Nggak masalah, sih, kalau mau menyampaikan aspirasi tapi caranya pun harus santun. Jangan sampai ujung-ujung malah jadi emosi dan melampiaskan dengan merusak fasilitas umum di Jakarta. Kan, nggak etis juga, ya... Malu atuh pake gamis putih, pake peci juga, tapi kelakuannya nggak mencerminkan orang Islam.
So, yeah... saya pikir rasa toleransi ini bagian dari kecerdasan spiritual yang sudah semestinya di miliki setiap manusia di zaman serba modern gini. Kadang, saya pribadi suka risih, ya, kalau ada orang Islam tapi tindakannya nggak mencerminkan orang Islam. At least, misalnya.... Kalau mau ujian malah nyontek, kalau bikin makalah malah plagiat.... Aaah, mungkin banyak yang nyadar kalau itu bagian dari korupsi dalam skala kecil. *Btw, ini kok jadi nggak nyambung sama esensi toleransi, ya? Wkwk, jadi kebawa baper dah :p
Toleran. Sumber : Kamus Besar Bahasa Indonesia |
#tantangan_hari_ke5 #kelasbunsayiip3
#game_level_3 #kami_bisa
Bandung, 080118
0 komentar