[Holiday Writing Challenge - Fanpage Only] Menulis Adegan Klimaks Ala Novel
Mozaik 15
Simpul yang Terputus
“Aku akan baik-baik saja” ujar gadis
disampingnya sambil menyeka tetesan bening di pelupuk matanya.
Dia hanya menunduk, menenggelamkan
rasa yang terus berkecamuk. Hatinya semakin remuk ketika menatap gadis yang
selama ini selalu hadir untuk menghangatkan hatinya.
“Maaf” hanya kata itu yang bisa
diucapkannya.
“Tidak ada yang perlu disalahkan”
jawab gadis itu dengan nada bergetar.
“Kamu harus mendapatkan yang lebih
baik”
Lama terdiam, akhirnya gadis itu
menjawab. “Semoga”
“Aku tidak akan tenang jika
meninggalkanmu sendiri” Dia lebih memilih menatap langit daripada orang yang
duduk disampingnya.
“Sudah aku bilang, aku akan
baik-baik saja” ucapnya mantap.
“Maaf, Ree ...” akhirnya dia
memberanikan diri untuk menatap gadis disampingnya. Dia ingin lebih lama menatapnya
bahkan sampai tarikan nafasnya terhenti. Namun lagi-lagi, ‘takdir’ memang kambing
hitam paling mujarap jika peristiwa tidak berjalan sebagaimana kehendak. Dia
menatapnya untuk terakhir kali.
***
“Mas, ini seragamnya ... Sarapan
udah siap. Mau makan sekarang?” Violet terus saja berceloteh sejak tadi pagi.
Bukan, sejak mereka terbangun dari malam panjang pasca resepsi pernikahan
seminggu yang lalu. Seperti inikah
rasanya? batin Ryan, Aku hanya
menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami; memberikan nafkah batin dan
jasmani, lagi-lagi Ryan menghela nafas panjang.
Ryan tersenyum menatap sosok
bidadari yang sedang merapikan seragam kantornya.
“Oke. Sudah rapi” ucapnya kemudian menatap mata Ryan, lekat.
“Terimakasih, sa-..yang” Ryan tergagap, hampir seminggu dia hidup
bersama Violet namun (masih saja) belum terbiasa dengan sapaan hangat
suami-istri. Bayangan Ree masih berkejaran dalam benaknya. Ya, hanya Ree. Gadis
yang paling dicintainya bahkan sampai detik ini.
“Hati-hati, sayang ...” sahut Violet sambil mendaratkan kecupan
hangat di pipi kanan Ryan. Violet berharap Ryan mengecup keningnya sebelum dia
pergi. Seperti pasangan pengantin baru di film-film drama. Namun angan itu
seperti enggan terwujud, hanya mampu tersketsa dalam imaji Violet.
Sejak pernikahan mereka, tidak pernah sekalipun Ryan mengecup
keningnya. Bahkan ketika malam-malam pengantin pun, dia hanya mencium bibirnya
sekali. Setelah itu menjalankan kegiatan layaknya seorang suami pada istrinya.
Padahal Violet ingin diperlakukan hangat dan mesra seperti pasangan suami-istri
lainnya. Ryan tidak pernah melakukan hal yang dia inginkan.
“Aku berangkat” kemudian Ryan berjalan menuju Xenia hitam-nya.
Violet berdiri diambang pintu sampai Xenia itu keluar dari gerbang rumah
mereka. Kemudian melambaikan tangan kearah Ryan.
**
Violet menghela nafas. Ada hal ganjil dalam diri suaminya. Naluri
wanitanya mampu menangkap itu. Dia tidak pernah tahu tentang masa lalu
suaminya. Tepatnya, tidak pernah ingin tahu. Siapapun yang ada di masa lalunya
itu tidak penting. Ryan telah memilihnya. Violet menjadi pemilik tunggal Ryan,
begitupun sebaliknya. Kecil kemungkinan bila Ryan masih mengingat masa lalunya.
Violet yakin, Ryan sangat mencintainya.
Namun pertanyaan ini terus mengusiknya Apa ini tentang masa lalunya? Kekasihnya? Violet menggeleng, dia
membuang jauh prasangka buruk tentang suaminya. Dia hanya ingin menguntai masa
depan bersama Ryan. Melahirkan anak-anak yang sehat. Melihat mereka tumbuh. Dan
hidup bersama sampai kematian memisahkan mereka. Cukup itu saja. Maka hidupnya
pasti akan bahagia.
**
“Ree ...” panggilnya saat menemukan
Ree terbaring di bangsal rumah sakit dengan embel-embel ‘gila’. “Hiduplah
dengan baik, jangan seperti ini”
Ree mengalihkan pandangannya pada Ryan, lama matanya menatap mata
Ryan. Kemudian dia tenggelam dalam pelukannya sendiri. Dia enggan menatapnya
lebih lama. Akan ada bagian yang semakin luka.
“Ayolah, Ree ... Jangan seperti ini.” Ryan mendekat ke tempat Ree,
menggenggam tangannya kemudian mendekapnya “Harus ada yang menemani, dan
melindungimu. Dengan begitu aku akan tenang dengan kehidupanku” Mata Ryan mulai
memanas, akan ada lahar bening yang meluap dari matanya.
Ree tetap diam tidak bergerak. Hanya sedetik dia merespon genggaman
Ryan kemudian merenggangkan tangannya dan tidak bergerak lagi. Jangan Ree, jangan seperti ini ... batin
Ryan mengusap lahar yang meluap dari matanya.
“Ree ... Aku ingin melihat senyummu, aku ingin melihat tawamu.
Jangan menjadi mayat hidup !”. Suaranya lantang dan keras membuat beberapa
perawat melihat ke arahnya dan memberi isyarat ‘sshhtt’. Ryan melepaskan
dekapannya, emosinya meluap hebat.
Ree hanya meliriknya sekilas
kemudian aliran hangat membanjiri pipinya. Ada luka yang semakin menganga
lebar, kali ini seseorang menaburkan garam pada lukanya. Perih.
0 komentar