[Holiday Writing Challenge - Fanpage Only] Menulis Adegan Klimaks Ala Novel

by - 8:37 PM


Mozaik 15
Simpul yang Terputus

            “Aku akan baik-baik saja” ujar gadis disampingnya sambil menyeka tetesan bening di pelupuk matanya.
            Dia hanya menunduk, menenggelamkan rasa yang terus berkecamuk. Hatinya semakin remuk ketika menatap gadis yang selama ini selalu hadir untuk menghangatkan hatinya.
            “Maaf” hanya kata itu yang bisa diucapkannya.
            “Tidak ada yang perlu disalahkan” jawab gadis itu dengan nada bergetar.
            “Kamu harus mendapatkan yang lebih baik”
            Lama terdiam, akhirnya gadis itu menjawab. “Semoga”
            “Aku tidak akan tenang jika meninggalkanmu sendiri” Dia lebih memilih menatap langit daripada orang yang duduk disampingnya.
            “Sudah aku bilang, aku akan baik-baik saja” ucapnya mantap.
            “Maaf, Ree ...” akhirnya dia memberanikan diri untuk menatap gadis disampingnya. Dia ingin lebih lama menatapnya bahkan sampai tarikan nafasnya terhenti. Namun lagi-lagi, ‘takdir’ memang kambing hitam paling mujarap jika peristiwa tidak berjalan sebagaimana kehendak. Dia menatapnya untuk terakhir kali.
***
            “Mas, ini seragamnya ... Sarapan udah siap. Mau makan sekarang?” Violet terus saja berceloteh sejak tadi pagi. Bukan, sejak mereka terbangun dari malam panjang pasca resepsi pernikahan seminggu yang lalu. Seperti inikah rasanya? batin Ryan, Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami; memberikan nafkah batin dan jasmani, lagi-lagi Ryan menghela nafas panjang.
            Ryan tersenyum menatap sosok bidadari yang sedang merapikan seragam kantornya.
“Oke. Sudah rapi” ucapnya kemudian menatap mata Ryan, lekat.
“Terimakasih, sa-..yang” Ryan tergagap, hampir seminggu dia hidup bersama Violet namun (masih saja) belum terbiasa dengan sapaan hangat suami-istri. Bayangan Ree masih berkejaran dalam benaknya. Ya, hanya Ree. Gadis yang paling dicintainya bahkan sampai detik ini.
“Hati-hati, sayang ...” sahut Violet sambil mendaratkan kecupan hangat di pipi kanan Ryan. Violet berharap Ryan mengecup keningnya sebelum dia pergi. Seperti pasangan pengantin baru di film-film drama. Namun angan itu seperti enggan terwujud, hanya mampu tersketsa dalam imaji Violet.
Sejak pernikahan mereka, tidak pernah sekalipun Ryan mengecup keningnya. Bahkan ketika malam-malam pengantin pun, dia hanya mencium bibirnya sekali. Setelah itu menjalankan kegiatan layaknya seorang suami pada istrinya. Padahal Violet ingin diperlakukan hangat dan mesra seperti pasangan suami-istri lainnya. Ryan tidak pernah melakukan hal yang dia inginkan.
“Aku berangkat” kemudian Ryan berjalan menuju Xenia hitam-nya. Violet berdiri diambang pintu sampai Xenia itu keluar dari gerbang rumah mereka. Kemudian melambaikan tangan kearah Ryan.
**
Violet menghela nafas. Ada hal ganjil dalam diri suaminya. Naluri wanitanya mampu menangkap itu. Dia tidak pernah tahu tentang masa lalu suaminya. Tepatnya, tidak pernah ingin tahu. Siapapun yang ada di masa lalunya itu tidak penting. Ryan telah memilihnya. Violet menjadi pemilik tunggal Ryan, begitupun sebaliknya. Kecil kemungkinan bila Ryan masih mengingat masa lalunya. Violet yakin, Ryan sangat mencintainya.
Namun pertanyaan ini terus mengusiknya Apa ini tentang masa lalunya? Kekasihnya? Violet menggeleng, dia membuang jauh prasangka buruk tentang suaminya. Dia hanya ingin menguntai masa depan bersama Ryan. Melahirkan anak-anak yang sehat. Melihat mereka tumbuh. Dan hidup bersama sampai kematian memisahkan mereka. Cukup itu saja. Maka hidupnya pasti akan bahagia.
**
            “Ree ...” panggilnya saat menemukan Ree terbaring di bangsal rumah sakit dengan embel-embel ‘gila’. “Hiduplah dengan baik, jangan seperti ini”
Ree mengalihkan pandangannya pada Ryan, lama matanya menatap mata Ryan. Kemudian dia tenggelam dalam pelukannya sendiri. Dia enggan menatapnya lebih lama. Akan ada bagian yang semakin luka.
“Ayolah, Ree ... Jangan seperti ini.” Ryan mendekat ke tempat Ree, menggenggam tangannya kemudian mendekapnya “Harus ada yang menemani, dan melindungimu. Dengan begitu aku akan tenang dengan kehidupanku” Mata Ryan mulai memanas, akan ada lahar bening yang meluap dari matanya.
Ree tetap diam tidak bergerak. Hanya sedetik dia merespon genggaman Ryan kemudian merenggangkan tangannya dan tidak bergerak lagi. Jangan Ree, jangan seperti ini ... batin Ryan mengusap lahar yang meluap dari matanya.
“Ree ... Aku ingin melihat senyummu, aku ingin melihat tawamu. Jangan menjadi mayat hidup !”. Suaranya lantang dan keras membuat beberapa perawat melihat ke arahnya dan memberi isyarat ‘sshhtt’. Ryan melepaskan dekapannya, emosinya meluap hebat.
 Ree hanya meliriknya sekilas kemudian aliran hangat membanjiri pipinya. Ada luka yang semakin menganga lebar, kali ini seseorang menaburkan garam pada lukanya. Perih.

You May Also Like

0 komentar

©