Pernah suatu hari, saat langit mulai pekat dan terangnya mentari hanya sebatas senja di ufuk barat. Rindu tiba-tiba menyeruak.
Melengkapi sisa senja yang mulai redup karena sang mentari harus kembali keperaduannya. Rindu yang dulunya hanya sebatas kekaguman biasa. Kemudian tumbuh dan berkembang memenuhi ruang hati.
Ibarat tumbuhan, rasa ini pun membutuhkan air agar tidak mudah layu. Perjumpaan layaknya air yang menjadi penyejuk. Senyuman ibarat pupuknya yang siap menyuburkan tumbuhan.
Nyatanya tanpa perlu diketahui, ia telah bermetamorfosis menjadi setangkai flous. Malu-malu sang flous tumbuh menjadi wujud yang indah dengan warna-warni cantik. Meskipun yang menanam benih tidak sepenuhnya sadar dengan kehadirannya.
Aah, senja selalu punya daya magis yang membuat indera perasa lebih peka dengan sekitarnya. Dengan hati, dengan sosok dan dengan kenangan.
Keempatnya adalah rangkaian kehidupan yang tidak pernah putus. Sejauh apapun. Lagi, senja ibarat fatamorgana yang siap memutar ulang setumpuk memori. Entah itu indah, entah itu buruk.
Aah, senja yang terlalu indah untuk diakhiri. Andai waktu bisa terhenti. Sesosok itu, masihkan melihat senja yang sama? Tak apa jika dia tidak melihat si senja. Setidaknya kita masih memandang langit yang sama.
Aku harap demikian, meski jarak ini terpisah hingga jutaan tahun cahaya …